BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai salah satu dasar hukum, ijma’ juga mempunyai dasar argumentasi
yang kuat di bawah al-Qur’an dan hadis. Namun, ada beberapa golongan yang
menolak kehujjahan ijma’ dan pembagiannya. Sebab ijma’ merupakan hasil ijtihad
para ulama yang belum pasti kebenarannya dan dalam pelaksanaannya pun menuai
perbedaan. Ada yang mengakui hanya terjadi pada zaman sahabat dan setelah masa
sahabat masih berpotensi ada.
Ijma’ sangat berkaitan erat dengan ijtihad para ulama’. Oleh karena itu,
para ulama yang mengakui kehujjahan ijma’ atau istimbath hukum masih bisa
dilakukan walaupun tidak terjadi pada masa sahabat. Hal ini sejalan dengan
kompleksnya permasalahan meski ijma’ telah berlalu di zaman sahabat, namun
ijtihad masih bisa diterapkan dewasa ini sesuai dengan keadaan problematika
Indonesia yang tidak kunjung usai.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ijma’?
2. Bagaimana pembagian ijma’?
3. Bagaimana penerapan ijma’ di Indonesia?
4. Tujuan
a. Untuk mengetahui pengertian ijma’.
b. Untuk mengetahui bagaimana pembagian ijma’
c. Untuk mengetahui bagaimana penerapan ijma’
di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijma’
Secara etimologi, ijma’ berasal dari bahasa
Arab, yaitu bentuk masdar dari kata أَجْمَعَ- يُجْمِعُ-إِجْمَعٌ . Ijma’ (الإجماع ) memiliki beberapa
arti diantaranya: pertama, ketetapan hati atau keputusan untuk melakukan
sesuatu. Kedua, sepakat. Pengertian ini merujuk pada firman Allah:
ذَهَبُوْا
بِهِ اَجْمَعُوْا اَنْ يَجْعَلُوْهُ فِيْ غَيْبَتِ الْجُبِّ ج(يسوف:15) فَلَمَّا
Artinya: “Maka tatkala mereka membawanya
dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur...”(QS. Yusuf:15)
فَأَجْمِعُوْا اَمَرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ (ينوس
: 71)
Artinya: “... Maka bulatkanlah
keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu...”(QS. Yunus :71)[1]
Al-Ijma’ mengandung dua makna, yaitu
menyusun dan mengatur suatu hal yang tidak teratur, dan berarti pula sepakat
atau bersatu dalam pendapat.[2]
Ijma’ memiliki makna kesepakatan para ulama
ahli ijtihad terhadap suatu hukum yang tidak ditemukan ketentuannya dalam
al-Qur’an dan Hadis.[3]
Menurut Imam Ghazali[4],
ijma’ adalah kesepakatan umat Muhammad SAW khususnya atas suatu persoalan kegunaan.[5]
Menurut ahli ushul fiqh, ijma’ adalah
kesepakatan seluruh para mujtahid di kalangan umat Islam pada suatu masa
setelah Rasulullah SAW wafat atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian.[6]
وَالإِجْمَاعُ هُوَ اِتِّفَاقُ
الْمُجْتَهِدِيْنَ مِنَ الأُمَّةِ الأِسْلاَمِيَّةِ فِى عَصْرِ مِنَ الْعُصُوْرِ
بَعْدَ النَّبِيِّ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ عَلَى حُكْمٍ
شَرْعِىٍّ فِى اَمْرِ مِنَ الأُمُوْرِ الْعَمَلِيَّةِ (رواه امام الشافعى)
Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid dari
umat Islam pada suatu masa setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW terhadap hukum
syara’ atas suatu perkara dari perkara-perkara amaliyah. (H.R Imam Syafi’i)[7]
In Islamic legal terminology, ijma’
signifies consensus of opinion, among the jurists of a particular age on a
question of law (menurut terminologi Islam, ijma’ berarti kesepakatan pendapat
antara para mujtahid pada suatu masa mengenai permasalahan hukum).[8]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ijma’
adalah kesesuaian pendapat (kata sepakat) dari para ulama mengenai suatu hal
atau peristiwa.[9]
Menurut kamus istilah Ushul Fiqh, ijma’
adalah kesepakatan, kebulatan pendapat para sahabat atau para ulama dalam
berijtihad atas suatu hukum.[10]
B.
Pembagian Ijma’
Ditinjau dari segi bentuknya, ijma’ dibagi menjadi dua macam,
yakni:
1.
Ijma’ sharih, yaitu ijma’ yang menampilkan pendapat masing-masing
ulama secara jelas dan terbuka baik melalui ucapan (fatwa) atau perbuatan.
Ijma’ sharih ini menempati tingkatan yang paling tinggi dan hukum yang
ditetapkannya bersifat qath’i. Sehingga umat Islam wajib mengikutinya. Oleh
karena itu, jumhur ulama sepakat bahwa ijma’ ini dijadikan hujjah syar’iyyah
dalam penetapan hukum syara’.
2.
Ijma’ sukuti, yakni ijma’ yang sebagian mujtahid menampilkan secara
jelas mengenai hukum suatu peristiwa melalui perbuatan maupun ucapan, sedangkan
sebagian mujtahid lain tidak memberikan tanggapan apakah dia menolak atau
menerima. Ijma’ sukuti ini bersifat dzan (dugaan) dan tidak mengikat.[11]
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ yang pertama, yaitu ijma’
sharih sebagai ijma’ dan dapat dijadikan hujjah. Tetapi mereka berbeda pendapat
mengenai ijma’ yang kedua (ijma’ sukuti). Imam Syafi’i[12]
dan Imam Malik[13]
berpendapat bahwa ijma’ sukuti bukanlah ijma’ dan tidak dapat dijadikan hujjah.
Sementara mayoritas ulama penganut madzab Imam Hanafi[14]
dan Imam Ahmad ibn Hanbal[15]
berpendapat bahwa ijma’ sukuti merupakan ijma’ dan bisa dijadikan dasar hukum.
Karena diamnya seorang mujtahid menunjukkan tanda bahwa dia setuju.
Mengenai ijma’ sukuti ini, para ulama terbagi menjadi dalam tiga
pendapat sebagai berikut:
a)
Tidak memasukkan ijma’ sukuti ini dalam kategori ijma’. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Syafi’i dan
mayoritas fuqoha
b)
Memasukkan ijma’ sukuti dalam kategori ijma’.
Tetapi tingkat kekuatannya di bawah ijma’ sharih. Pendapat ini dikemukakan oleh
sebagian fuqaha yang lain.
c)
Ijma’ sukuti dapat dijadikan argumentasi
(hujjah) akan tetapi tidak termasuk dalam kategori ijma’.[16]
Menurut Imam Hanafi, ijma’ sukuti dapat
dijadikan sebagai hujjah dengan kriteria-kriteria tertentu, yaitu :
1) Persoalan tersebut dipaparkan secara jelas
kepada mujtahid secara jelas.
2) Ketika pemaparan persoalan tersebut dan
dimintai ijtihad, seorang mujtahid diam dan tidak mengutarakan pendapatnya,
baik secara lisan atau perbuatan.
3) Kita bisa mengetahui bahwa seorang mujtahid
memungkinkan untuk mencari dan menelaah dan berijtihad tentang perkara tersebut
selama jangka waktu tertentu.
4) Diamnya seorang mujtahid bukanlah sesuatu
yang syubhat.
5) Ada kejelasan bahwa seorang mujtahid
tersebut merasa aman dari pengutaraan pendapatnya.[17]
Menurut sebagian ulama yang melakukan
ijma’, ijma’ dibagi kembali menjadi beberapa bagian, yaitu:
(a) Ijma’ Ahl al-Madinah (Kesepakatan
Masyarakat Madinah)
Menurut Imam Malik, ijma’ al-Madinah
merupakan hujjah, yaitu ijma’ yang dilakukan kalangan sahabat atau tabi’in yang
berada di Madinah. Apabila kesepakatan dilakukan setelah dua generasi tersebut,
maka itu bukanlah ijma’ yang menjadi hujjah. Dengan demikian, yang dimaksud
ijma’ al-Madinah adalah kesepakatan dalam bidang hukum yang cara penetapannya
terdiri atas periwayatan dan ijtihad.
(b) Ijma’ Ahl al-Haramain (Kesepakatan
Masyarakat Madinah dan Mekkah)
Sebagian ulama ushul berpendapat bahwa
kesepakatan masyarakat Mekkah dan Madinah merupakan hujjah, sebab ijma’ hanya
terbentuk pada masa sahabat saja. Kebanyakan dari para sahabat tinggal di dua
kota ini.
(c) Ijma’ Ahl al-Mishrain (Kesepakatan
Masyarakat Dua Kota (Basrah dan Kuffah))
Sebagian ulama ushul mempunyai alasan yang
hampir sama dengan ijma’ ahl al-Haramain, sebab para sahabat berdomisili di dua
kota ini pula. Namun, pendapat ini dibantah oleh sebagian ulama lain, karena
sahabat juga tinggal di daerah Irak, Yaman, dan Syam (Syria).
(d) Ijma’ asy-Syaikhan/ Ijma’ al-Khalifatain
(Kesepakatan dua khalifah (Abu Bakar dan Umar))
Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian
ulama yang didasarkan pada hadis nabi Muhammad SAW yang berbunyi:
عَنْ حُدَيْفَةَ أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِ أَبِى بَكْرٍ
وَ عُمَرَ (رواه الترمذى)
Artinya:
Dari Hudzaifah[18]
r.a, bahwa Nabi SAW bersabda: “Turutilah dua orang setelah (wafat)-ku; Abu Bakr[19]
dan Umar[20]”.(H.R
At-Tirmidzi)
(e) Ijma’ al-Khulafa’ al-Arba’ah/ al-Khulafa’
ar-Rasyidin (Kesepakatan Khalifah yang Empat)
Pendapat ini dikemukakan oleh ulama
Hanafiyyah yang bernama al-Qadhi Abi Hazim[21],
dan menurut satu riwayat juga oleh Ahmad ibn Hanbal berpendapat bahwa
kesepakatan diantara khalifah empat (Abu Bakar, Umar, Usman[22],
dan Ali[23])
merupakan hujjah. Hal ini didasarkan pada hadis nabi SAW yang berbunyi, riwayat
Irbaq bin Sariyah[24]
r.a :
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَ
الطَّاعَةِ وَ إِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى بَعْدِى
اخْتِلَافًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ
الرَّشِدِيْنَ المَهْدِيْنَ وَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِاالنَّوَاجِذِ وَ إِيَّاكُمْ
وَ مُخْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَاِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٍ (رواه الترمذى)
Artinya:
“Saya berwasiat kepada kamu untuk tetap
bertakwa kepada Allah, peduli dan patuh (kepada pimpinan) walaupun (pemimpin
itu) berasal dari hamba berkulit hitam. Sesungguhnya, barang siapa di antara
kamu yang masih hidup setelah saya wafat, melihat perselisihan yang hebat, maka
kamu wajib berpegang kepada sunnahku, dan gigitlah ia dengan gerahammu
(berpegang teguhlah kamu kepadanya). Waspadailah hal-hal yang diada-adakan,
sesungguhnya semua yang diada-adakan adalah bid’ah, dan sungguh setiap bid’ah
adalah kesesatan.” (H.R At-Tirmidzi[25])
Oleh karena itu kepemimpinan mereka wajib
diikuti dan dipatuhi. Namun, hal itu tidak menjadikan ucapan-ucapan mereka
secara otomatis suci (ma’shum) sehingga menjadi hujjah.
(f) Ijma’ al-‘Itrah (kesepakatan Ahl al-Bayt/
Keluarga nabi SAW)
Pendapat ini diungkapkan oleh golongan
Syi’ah al-Imamiyyah[26]
dan az-Zaidiyah[27].
Mereka mengatakan bahwa kesepakatan keluarga nabi (Ali, Fatimah[28],
Hasan[29],
dan Husein[30])
merupakan hujjah.[31]
Mereka mendasarkan ijma’ ini pada ayat al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 33, yang
berbunyi:
إِنَّمَا يُرِيْدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ
الرِّجْسَ أَهْلُ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرُكُمْ تَطْهِيْرًا (الأحزب: 33)
Artinya:
“ Sesungguhnya Allah bermaksud hendak
menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahl al-Bayt dan membersihkan kamu
sebersih-bersihnya”. (Q.S al-Ahzab :33)
C.
Contoh penerapan Ijma’ di Indonesia
Menurut beberapa ulama yang meyakini adanya ijma’ setelah
masa sahabat, ijma’ bisa dilakukan untuk menjawab masalah-masalah yang
kontemporer. Sebab, ijma’ sangat berkaitan erat dengan ijtihad. Ijtihad bisa
dilakukan kapan saja asalkan memenuhi ketentuan dan persyaratan yang berlaku.
Namun, ijtihad yang diakui keabsahannya adalah ijma’ fard atau individual,
melainkan ijtihad jama’i atau bersama-sama. Ijtihad ini lebih dikenal dengan
istilah ijtihad kolektif.
Ijtihad di masa sekarang bisa dilakukan dengan musyawarah
bersama para muslim yang lebih dalam agamanya dan keilmuannya. Ijtihad ini
hampir sama dengan dewan syuro’ yang ada pada zaman sahabat dahulu. Ijtihad ini dilakukan
untuk kepentingan umum kaum muslim dan cukup.
Ijtihad kolektif sebuah upaya optimal dari
mayoritas ahli fiqih untuk sampai pada sebuah hipotesa terhadap hukum syariat
dengan cara menyimpulkan dan telah mencapai kesepakatan bersama atau mayoritas
dari mereka semua setelah mengadakan tukar pendapat untuk menentukan suatu hukum.Tujuannya
adalah untuk meneliti berbagai problematika modernitas dan berbagai hal yang
dibutuhkan umat, sehingga mereka sepakat terhadap hal-hal yang dipandang dapat
menghasilkan kemaslahatan.
Lembaga
ijtihad kolektif terbagi menjadi tiga macam, yaitu tingkat internasional,
nasional, dan lokal. Contoh lembaga ijtihad kolektif tingkat internasional
adalah OKI (organisasi konferensi islam) yang biasanya membahas muktamar
tahunan tentang permasalahan Negara Islam di belahan dunia.
Sedangkan lembaga kolektif tingkat regional
adalah MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang menaungi lembaga keagamaan di
Indonesia. MUI juga membahas tentang tradisi, kebiasaan, untuk kemaslahatan
bersama. Mereka mengeluarkan fatwa-fatwa yang berkenaan dengan kehseharian umat
Islam. Contoh fatwanya antara lain pelarangan rokok untuk ibu hamil dan
anak-anak.
Contoh penerapan ijtihad kolektif di tingkat
regional adalah penetapan satu syawal dan awal ramadhan. Dalam sidang isbat
dihadiri oleh beberapa ormas Islam yang berasal dari berbagai aliran dan
daerah, pemimpin adat, MUI dan dipimpin oleh Kementrian Agama RI.
Sedangkan lembaga kolektif tingkat local adalah
MUI cabang provinsi, atau organisasi masyarakat seperti NU dengan Batsul Masail
dan Muhammadiyah dengan Tarjih. Contoh fatwa lembaga kolektif tingkat lokal adalah
pelarangan duduk dengan kaki terbuka bagi wanita di Aceh dalam berkendara
motor.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
pembahasan diatas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Secara etimologi, ijma’ berasal dari bahasa Arab, yaitu bentuk masdar dari
kata أَجْمَعَ- يُجْمِعُ-إِجْمَعٌ . Ijma’ (الإجماع ) memiliki beberapa arti
diantaranya: pertama, ketetapan hati atau keputusan untuk melakukan sesuatu.
Kedua, sepakat. Menurut ahli ushul fiqh, ijma’ adalah kesepakatan seluruh para
mujtahid di kalangan umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah SAW wafat
atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian.
2. Pembagian ijma’. Dari segi pembentukannya, ijma’ ada dua yaitu ijma’ sharih
dan ijma’ sukuti. Sedangkan ditinjau dari segi macam-macamnya, ijma’ ada enam
macam yakni, ijma’ ahl al-Madinah, ijma’ ahl al-Haramain, ijma’ ahl
al-Mishrain, ijma’ asy-Syaikhan, ijma’ al-Khulafa’ al-Arba’ah, dan ijma’
al-‘Itrah.
3. Contoh penerapan ijma’ di Indonesia adalah sidang isbat untuk penentuan
awal syawal dan ramadhan dan pelarangan duduk di atas kendaraan roda dua dengan
kaki terbuka oleh wanita.
B.
Penutup
Demikian makalah ini saya buat dengan
sebenar-benarnya. Tiada gading yang tidak retak. Mohon maaf dan kritik serta
saran atas makalah saya untuk kesempurnaan makalah saya. Semoga dapat
bermanfaat bagi pembaca. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Pustaka buku
Abdul Hayy Abdul Al, Dr. Pengantar Ushul
Fiqh. (Ushul Fiqh al-Islami). Penerjemah Muhammad Misbah, Lc. M.Hum. Jakarta:
PT Pustaka al-Kautsar. Cet.I. 2014
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul
al-Fiqh (Ushul fiqih).Terjemahan Saefullah Ma’shum dkk. Jakarta: PT Pustaka
Firdaus. Cet.I. 1994
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul
al-Fiqh. Kairo: Dar al-Fikr. 1996
Astuti, Dewi. Kamus Populer Istilah
Islam. Jakarta: Penerbit
Kalil. Cet. I
Dahlan, Abd. Rahman. Ushul
Fiqh. Jakarta: Amzah. Cet.II. 2011
Departemen Pendidikan
Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama. Cet.I. 2008
Ensiklopedi Ijmak, persepakatan ulama dalam hukum Islam. Penerjemah Sahal Mahfudz, K.H.A.dan Mustafa Bisri, K.H. Jakarta:
Pustaka Firdaus.1987
Hameedullah Khan,
Muhammad. The Schools of Islamic Jurisprudence. New Delhi: Kitab Bhavan.
Cet.III. 2011
Haroen, Nasrun. Ushul
Fiqh I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Cet.II. 1997
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu
Ushul Fiqh (Ilmu Ushul Fiqh). Terjemahan Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib.
Semarang: Dina Utama Semarang (Toha Putra Group). Cet.I. 1994
Shidik, Safiuddin. Ushul
Fiqh. Jakarta: PT Intimedia Cipta Nusantara
Zein, Satria Effendi dkk. Ensiklopedi Islam Indonesia.
Jakarta: Penerbit Djambatan. 1992
Pustaka online
[2]
Satria Effendi Zein dkk, (Ensiklopedi Islam Indonesia), Penerbit Djambatan,
Jakarta 1992, tanpa cetakan, h.406
[3]
Dewi Astuti, (Kamus Populer Istilah Islam), Penerbit Kalil, Jakarta, tanpa
tahun, cet. I, h. 142
[4]
Nama asli beliau adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Tusi
asy-Syafi’i. Beliau lahir di Thus 1058M/450 H dan wafat pada 1111 M/505 H.
Karya beliau antara lain, Ihya Ulumuddin, Kimiya as-Sa’adah, Misykah al-Anwar,
Tahafut al-Falasifah, Maqasid al-Falasifah, Mi’yar al-Ilm, dan lain-lain. Lihat
http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Ghazali
[5] (Ensiklopedi
Ijmak, persepakatan ulama dalam hukum Islam, terjemahan Sahal Mahfudz,
K.H.A.dan Mustafa Bisri, K.H.), Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987, h. XXXiii
[6]
Abdul Wahhab Khallaf, Prof.,(Ilmu Ushul Fiqh, terjemahan Moh. Zuhri, Drs. H. Dipl. TAFL dan Ahmad Qarib Drs.
M.A.,Prof), Dina Utama Semarang (Toha Putra Grup), 1994,Semarang, cet.I, h. 56
[8] Muhammad Hameedullah Khan, (The School of
Islamic Jurisprudence), Kitab Bhavan, New Delhi, 2001, cet.III, h.30
[9]
Departemen Pendidikan Nasional, (Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa), PT
Gramedia Pustaka Utama, 2008, Jakarta, cet. I, edisi IV, h.158
[10] M.
Abdul Mujieb dan Mabruri Tholhah Syafi’ah A.M, (Kamus Istilah Fiqih), PT
Pustaka Firdaus, Jakarta, 1995, cet. II, h. 115
[12]
Nama aslinya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi’I atau Muhammad
bin Idris asy-Syafi’i. beliau dilahirkan di Gaza, Palestina pada tahun 767
M/150 H. beliau wafat pada tahun 820 M
di Fustat, Mesir. Karya-karya beliau yang terkenal adalah kitab ar-Risalah,
al-Umm, dan al-Hujjah. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Asy-Syafi%27i
[13] Nama lengkap beliau adalah Malik bin Anas bin
Malik bin ‘Amr al-Imam Abu ‘Abd Allah al-Humyari al-Asbahi al-Madani. Beliau
lahir di Madinah pada 714 M/ 93 H dan meninggal pada 800 M/ 179 H. beliau
adalah pakar ilmu fiqh dan hadis. Salah satu karya beliau adalah kitab
al-Muwaththa’. Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Malik_ibn_Anas
[14] Nama lengkap
beliau adalah Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan at-Taymi. Beliau lahir di
Kufah, Irak 80 H/ 699 M dan meninggal di Baghdad, Irak 148 H/ 767 M. karya
beliau antara lain Fiqh Akhbar, al-‘alim Wamultam dan Musnad Fiqh Akhbar. Lihat
http://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Hanifah
[15]
Nama aslinya adalah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad Al Marwazi
Al-Baghdadi. Beliau lahir di Mary, Turkmenistan tahun 780 M/164 H dan wafat di
Baghdad, Irak pada 855 M/ 241 H.
karya-karya beliau yang terkenal adalah kitab al-Musnad, kitab an-Nasikh wa
al-Mansukh, kitab at-Tarikh, kitab Hadits Syu’bah, kitab al-Muqaddam wa
al-Muakhhar fi al-Qur’an, kitab Jawabah al-Qur’an, kitab al-Manasik al-Kabir,
kitab al-Manasik as-Saghir, dll. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_bin_Hanbal
[16] Muhammad Abu Zahrah, Prof., (Ushul Fiqh,
penerjemah Saefullah Ma’shum dkk), PT Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994, cet. I,h.318
[17] Abdul Hayy Abdul Al, Dr., (Pengantar Ushul
Fiqh, terjemahan Ushul Fiqh al-Islami, penerjemah Muhammad Misbah, Lc. M.Hum.),
PT Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 2014, cet.I, h. 288
[18] Nama asli beliau adalah Hudzifah al-Yaman dan
dijuluki Abu Abdillah, pemegang rahasia Rasul. Beliau dilahirkan di Madinah
dari ayah Husail Ibn Jabr al-‘absi al-Yamani (Bani ‘Abs). Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Hudzaifah_bin_al-Yaman
[19] Nama lengkapnya
adalah 'Abdullah bin 'Utsman bin Amir bi Amru bin Ka'ab bin Sa'ad bin Tayyim
bin Murrah bin Ka'ab bin Lu'ay bin Ghalib bin Quraisy. Beliau lahir dengan nama
Abdullah Abi Quhafah. Beliau adalah khalifah pertama dari khulafa ar-rasyidin.
Lahir pada tahun 572 H dan wafat pada 23 Agustus 634 H/21 Jumadil Akhir 13 H. Beliau
memerintah tahun 632-634 H dan meninggal karena sakit. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Bakar_Ash-Shiddiq
[20]
Nama lengkap beliau adalah Umar bin Khattab bin Nafiel bin Abdul Uzza. Beliau
lahir pada 581 M dan wafat pada hari Rabu 25 Dzulhijjah 23 H/ 644 M. Beliau
dibunuh oleh Abu Lu’lu’ (fairuz) orang Persia. Beliau adalah khalifah kedua
dari keempat khulafaur rasyidin. Beliau memimpin pemerintahan pada 634-644 M.
beliau pula yang mengusulkan adanya kalender hijriyah dalam Islam. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Umar_bin_Khattab
[21] Nama lengkap beliau adalah al-Qadhi Abu Bakar
Muhammad bin Abdul Baqi bin Tsabit bin Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin
Abdurrahman bin ar-Rabi’ bin Tsabit bin Wahab bin Masyja’ah bin al-Harits bin
Abdullah bin Ka’ab bin Malik bin Amr al-Qa’in al-Khazraji as-Sulami al-Anshari
al-Baghdadi. Beliau lahir pada 422 H. Lihat http://cara-global.blogspot.com/2010/12/qadhi-al-marastan.html#uds-search-results
[22] Beliau lahir pada
574 M. beliau adalah saudagar yang kaya raya dan menjadi khalifah yang ketiga
dalam Khulafa ar-Rasyidin pada 644-656 M (12 tahun). Beliau adalah menantu Nabi
Muhammad SAW dan mendapat gelar Dzun Nuraini karena beliau menikahi dua putrid
nabi yakni Ummu Kulsum dan Ruqaiyah. Belai adalah salah satu dari Assabiqunal
Awwalun. Beliau wafat karena dibunuh oleh Abdurrahman al-Ghafiqi pada 12
Dzulhijjah 35 H/ 656 M. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Utsman_bin_Affan
[23] Beliau lahir pada
13 Rajab pra 23 H dan wafat pada 21
ramadhan 40 H. beliau adalah khalifah keempat dalam Khulafa ar-Rasyidin. Beliau
adalah menantu Nabi Muhammad SAW. Beliau
meninggal karena dibunuh oleh Abu Lu’Lu’ah dari kaum Khawarij pada 40 H. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Ali_bin_Abi_Thalib
[24] Beliau termasuk ahli suffah. Beliau adalah
orang miskin yang selalu berada dalam lingkungan Rasulullah seperti Abu
Hurairah r.a. Gelar beliau adalah Abu Najih. Beliau hanya meriwayatkan 31 hadis
dan wafat di Syam pada 75 H. Lihat http://ceritaayahdanbunda.blogspot.com/2014/10/56-irhadh-bin-sariyah-seri-sahabat-nabi.html
[25] Nama asli beliau adalah Imam al-Hafizh Abu Isa
Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak as-Sulami at-Tirmizi. Beliau
lahir di kota Tirmiz dan wafat disana pada hari senin 13 Rajab 279 H/ 8 Oktober
892 M dalam usia 70 tahun. Karya beliau antara lain, Jami’ at-Tirmidzi,
al-I’lal, at-Tarikh, asy-Syama’il an-Nabawiyah, az-Zuhd, al-Asma’ wa-Kuna.
Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Tirmidzi
[26]
Syi’ah Imamiyyah/ itsna ‘asy’ariyah (dua belas imam) adalah salah satu aliran
terbesar dalam golongan Syi’ah dan meyakini adanya dua belas imam. Mereka
meyakini bahwa Rasulullah SAW adalah penutup semua nabi dan al-Qur’an mencakup
semua hukum yang dibutuhkan manusia dan tidak berubah. Mereka percaya pula bahwa
yang berhak memimpin hanyalah para imam dari ahl al-Bayt. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Syi%27ah
[27]
Syi’ah Zaidiyah adalah salah satu golongan Syi’ah yang meyakini adanya lima
imam. Mereka merupakan pengikut Zaid bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Mereka dianggap moderat karena tidak menganggap ketiga khalifah sebelum Ali
tidak sah. Dalam bidang ushuluddin, golongan ini menganut paham mu’tazilah dan
bidang furu’uddin mengikuti paham hanafiah. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Syi%27ah
[28] Beliau adalah
putri bungsu Nabi Muhammad SAW dari perkawinan beliau dengan Khadijah binti
Khuwailid. Beliau meninggal pada 632 H. beliau melahirkan empat anak yaitu
Hasan, Husein, Ummu Kalsum dan Zainab. Beliau menikah dalam usia 27 tahun.
Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Fatimah_az-Zahra
[29]
Beliau adalah putra Ali bin Abi Thalib yang
pertama dan cucu nabi yang pertama. Beliau dilahirkan tahun kedua hijriah dan
wafat pada 669 M. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Hasan_bin_Ali
[30] Beliau adalah putra Ali bin abi Thalib yang
dilahirkan oleh Fatimah Az-Zahra pada 3
Sya’ban 4 H. beliau meninggal di Karbala tahun 680 M. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Husain_bin_Ali
[31] Abd. Rahman Dahlan Dr. H. M.A., (Ushul Fiqh),
Amzah, Jakarta, 2011, cet. II, h.151-155
Tidak ada komentar:
Posting Komentar