Translate

Kamis, 11 Juni 2015

penerapan ijma' di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Sebagai salah satu dasar hukum, ijma’ juga mempunyai dasar argumentasi yang kuat di bawah al-Qur’an dan hadis. Namun, ada beberapa golongan yang menolak kehujjahan ijma’ dan pembagiannya. Sebab ijma’ merupakan hasil ijtihad para ulama yang belum pasti kebenarannya dan dalam pelaksanaannya pun menuai perbedaan. Ada yang mengakui hanya terjadi pada zaman sahabat dan setelah masa sahabat masih berpotensi ada.
Ijma’ sangat berkaitan erat dengan ijtihad para ulama’. Oleh karena itu, para ulama yang mengakui kehujjahan ijma’ atau istimbath hukum masih bisa dilakukan walaupun tidak terjadi pada masa sahabat. Hal ini sejalan dengan kompleksnya permasalahan meski ijma’ telah berlalu di zaman sahabat, namun ijtihad masih bisa diterapkan dewasa ini sesuai dengan keadaan problematika Indonesia yang tidak kunjung usai.

B.  Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian ijma’?
2.    Bagaimana pembagian ijma’?
3.    Bagaimana penerapan ijma’ di Indonesia?
4.    Tujuan
a.       Untuk mengetahui pengertian ijma’.
b.      Untuk mengetahui bagaimana pembagian ijma’
c.       Untuk mengetahui bagaimana penerapan ijma’ di Indonesia










BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ijma’
Secara etimologi, ijma’ berasal dari bahasa Arab, yaitu bentuk masdar dari kata أَجْمَعَ- يُجْمِعُ-إِجْمَعٌ   . Ijma’ (الإجماع ) memiliki beberapa arti diantaranya: pertama, ketetapan hati atau keputusan untuk melakukan sesuatu. Kedua, sepakat. Pengertian ini merujuk pada firman Allah:
 ذَهَبُوْا بِهِ اَجْمَعُوْا اَنْ يَجْعَلُوْهُ فِيْ غَيْبَتِ الْجُبِّ ج(يسوف:15) فَلَمَّا
Artinya: “Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur...”(QS. Yusuf:15)
فَأَجْمِعُوْا اَمَرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ (ينوس : 71)
Artinya: “... Maka bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu...”(QS. Yunus :71)[1]
Al-Ijma’ mengandung dua makna, yaitu menyusun dan mengatur suatu hal yang tidak teratur, dan berarti pula sepakat atau bersatu dalam pendapat.[2]
Ijma’ memiliki makna kesepakatan para ulama ahli ijtihad terhadap suatu hukum yang tidak ditemukan ketentuannya dalam al-Qur’an dan Hadis.[3]
Menurut Imam Ghazali[4], ijma’ adalah kesepakatan umat Muhammad SAW khususnya atas suatu persoalan kegunaan.[5]
Menurut ahli ushul fiqh, ijma’ adalah kesepakatan seluruh para mujtahid di kalangan umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah SAW wafat atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian.[6]
وَالإِجْمَاعُ هُوَ اِتِّفَاقُ الْمُجْتَهِدِيْنَ مِنَ الأُمَّةِ الأِسْلاَمِيَّةِ فِى عَصْرِ مِنَ الْعُصُوْرِ بَعْدَ النَّبِيِّ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ عَلَى حُكْمٍ شَرْعِىٍّ فِى اَمْرِ مِنَ الأُمُوْرِ الْعَمَلِيَّةِ (رواه امام الشافعى)
Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid dari umat Islam pada suatu masa setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW terhadap hukum syara’ atas suatu perkara dari perkara-perkara amaliyah. (H.R Imam Syafi’i)[7]
In Islamic legal terminology, ijma’ signifies consensus of opinion, among the jurists of a particular age on a question of law (menurut terminologi Islam, ijma’ berarti kesepakatan pendapat antara para mujtahid pada suatu masa mengenai permasalahan hukum).[8]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ijma’ adalah kesesuaian pendapat (kata sepakat) dari para ulama mengenai suatu hal atau peristiwa.[9]
Menurut kamus istilah Ushul Fiqh, ijma’ adalah kesepakatan, kebulatan pendapat para sahabat atau para ulama dalam berijtihad atas suatu hukum.[10]
B.     Pembagian Ijma’
Ditinjau dari segi bentuknya, ijma’ dibagi menjadi dua macam, yakni:
1.      Ijma’ sharih, yaitu ijma’ yang menampilkan pendapat masing-masing ulama secara jelas dan terbuka baik melalui ucapan (fatwa) atau perbuatan. Ijma’ sharih ini menempati tingkatan yang paling tinggi dan hukum yang ditetapkannya bersifat qath’i. Sehingga umat Islam wajib mengikutinya. Oleh karena itu, jumhur ulama sepakat bahwa ijma’ ini dijadikan hujjah syar’iyyah dalam penetapan hukum syara’.
2.      Ijma’ sukuti, yakni ijma’ yang sebagian mujtahid menampilkan secara jelas mengenai hukum suatu peristiwa melalui perbuatan maupun ucapan, sedangkan sebagian mujtahid lain tidak memberikan tanggapan apakah dia menolak atau menerima. Ijma’ sukuti ini bersifat dzan (dugaan) dan tidak mengikat.[11]
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ yang pertama, yaitu ijma’ sharih sebagai ijma’ dan dapat dijadikan hujjah. Tetapi mereka berbeda pendapat mengenai ijma’ yang kedua (ijma’ sukuti). Imam Syafi’i[12] dan Imam Malik[13] berpendapat bahwa ijma’ sukuti bukanlah ijma’ dan tidak dapat dijadikan hujjah. Sementara mayoritas ulama penganut madzab Imam Hanafi[14] dan Imam Ahmad ibn Hanbal[15] berpendapat bahwa ijma’ sukuti merupakan ijma’ dan bisa dijadikan dasar hukum. Karena diamnya seorang mujtahid menunjukkan tanda bahwa dia setuju.
Mengenai ijma’ sukuti ini, para ulama terbagi menjadi dalam tiga pendapat sebagai berikut:
a)      Tidak memasukkan ijma’ sukuti ini dalam kategori ijma’. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Syafi’i dan mayoritas fuqoha
b)      Memasukkan ijma’ sukuti dalam kategori ijma’. Tetapi tingkat kekuatannya di bawah ijma’ sharih. Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian fuqaha yang lain.
c)      Ijma’ sukuti dapat dijadikan argumentasi (hujjah) akan tetapi tidak termasuk dalam kategori ijma’.[16]
Menurut Imam Hanafi, ijma’ sukuti dapat dijadikan sebagai hujjah dengan kriteria-kriteria tertentu, yaitu :
1)      Persoalan tersebut dipaparkan secara jelas kepada mujtahid secara jelas.
2)      Ketika pemaparan persoalan tersebut dan dimintai ijtihad, seorang mujtahid diam dan tidak mengutarakan pendapatnya, baik secara lisan atau perbuatan.
3)      Kita bisa mengetahui bahwa seorang mujtahid memungkinkan untuk mencari dan menelaah dan berijtihad tentang perkara tersebut selama jangka waktu tertentu.
4)      Diamnya seorang mujtahid bukanlah sesuatu yang syubhat.
5)      Ada kejelasan bahwa seorang mujtahid tersebut merasa aman dari pengutaraan pendapatnya.[17]
Menurut sebagian ulama yang melakukan ijma’, ijma’ dibagi kembali menjadi beberapa bagian, yaitu:
(a)    Ijma’ Ahl al-Madinah (Kesepakatan Masyarakat Madinah)
Menurut Imam Malik, ijma’ al-Madinah merupakan hujjah, yaitu ijma’ yang dilakukan kalangan sahabat atau tabi’in yang berada di Madinah. Apabila kesepakatan dilakukan setelah dua generasi tersebut, maka itu bukanlah ijma’ yang menjadi hujjah. Dengan demikian, yang dimaksud ijma’ al-Madinah adalah kesepakatan dalam bidang hukum yang cara penetapannya terdiri atas periwayatan dan ijtihad.
(b)   Ijma’ Ahl al-Haramain (Kesepakatan Masyarakat Madinah dan Mekkah)
Sebagian ulama ushul berpendapat bahwa kesepakatan masyarakat Mekkah dan Madinah merupakan hujjah, sebab ijma’ hanya terbentuk pada masa sahabat saja. Kebanyakan dari para sahabat tinggal di dua kota ini.
(c)    Ijma’ Ahl al-Mishrain (Kesepakatan Masyarakat Dua Kota (Basrah dan Kuffah))
Sebagian ulama ushul mempunyai alasan yang hampir sama dengan ijma’ ahl al-Haramain, sebab para sahabat berdomisili di dua kota ini pula. Namun, pendapat ini dibantah oleh sebagian ulama lain, karena sahabat juga tinggal di daerah Irak, Yaman, dan Syam (Syria).
(d)   Ijma’ asy-Syaikhan/ Ijma’ al-Khalifatain (Kesepakatan dua khalifah (Abu Bakar dan Umar))
Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian ulama yang didasarkan pada hadis nabi Muhammad SAW yang berbunyi:

عَنْ حُدَيْفَةَ أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِ أَبِى بَكْرٍ وَ عُمَرَ (رواه الترمذى)
Artinya:
Dari Hudzaifah[18] r.a, bahwa Nabi SAW bersabda: “Turutilah dua orang setelah (wafat)-ku; Abu Bakr[19] dan Umar[20]”.(H.R At-Tirmidzi)

(e)    Ijma’ al-Khulafa’ al-Arba’ah/ al-Khulafa’ ar-Rasyidin (Kesepakatan Khalifah yang Empat)
Pendapat ini dikemukakan oleh ulama Hanafiyyah yang bernama al-Qadhi Abi Hazim[21], dan menurut satu riwayat juga oleh Ahmad ibn Hanbal berpendapat bahwa kesepakatan diantara khalifah empat (Abu Bakar, Umar, Usman[22], dan Ali[23]) merupakan hujjah. Hal ini didasarkan pada hadis nabi SAW yang berbunyi, riwayat Irbaq bin Sariyah[24] r.a :

أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَ الطَّاعَةِ وَ إِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى بَعْدِى اخْتِلَافًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّشِدِيْنَ المَهْدِيْنَ وَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِاالنَّوَاجِذِ وَ إِيَّاكُمْ وَ مُخْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَاِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٍ (رواه الترمذى)
Artinya:
“Saya berwasiat kepada kamu untuk tetap bertakwa kepada Allah, peduli dan patuh (kepada pimpinan) walaupun (pemimpin itu) berasal dari hamba berkulit hitam. Sesungguhnya, barang siapa di antara kamu yang masih hidup setelah saya wafat, melihat perselisihan yang hebat, maka kamu wajib berpegang kepada sunnahku, dan gigitlah ia dengan gerahammu (berpegang teguhlah kamu kepadanya). Waspadailah hal-hal yang diada-adakan, sesungguhnya semua yang diada-adakan adalah bid’ah, dan sungguh setiap bid’ah adalah kesesatan.” (H.R At-Tirmidzi[25])
Oleh karena itu kepemimpinan mereka wajib diikuti dan dipatuhi. Namun, hal itu tidak menjadikan ucapan-ucapan mereka secara otomatis suci (ma’shum)  sehingga menjadi hujjah.

(f)    Ijma’ al-‘Itrah (kesepakatan Ahl al-Bayt/ Keluarga nabi SAW)
Pendapat ini diungkapkan oleh golongan Syi’ah al-Imamiyyah[26] dan az-Zaidiyah[27]. Mereka mengatakan bahwa kesepakatan keluarga nabi (Ali, Fatimah[28], Hasan[29], dan Husein[30]) merupakan hujjah.[31] Mereka mendasarkan ijma’ ini pada ayat al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 33, yang berbunyi:
إِنَّمَا يُرِيْدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلُ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرُكُمْ تَطْهِيْرًا (الأحزب: 33)
Artinya:
“ Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahl al-Bayt dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”. (Q.S al-Ahzab :33)

C.     Contoh penerapan Ijma’ di Indonesia
Menurut beberapa ulama yang meyakini adanya ijma’ setelah masa sahabat, ijma’ bisa dilakukan untuk menjawab masalah-masalah yang kontemporer. Sebab, ijma’ sangat berkaitan erat dengan ijtihad. Ijtihad bisa dilakukan kapan saja asalkan memenuhi ketentuan dan persyaratan yang berlaku. Namun, ijtihad yang diakui keabsahannya adalah ijma’ fard atau individual, melainkan ijtihad jama’i atau bersama-sama. Ijtihad ini lebih dikenal dengan istilah ijtihad kolektif.
Ijtihad di masa sekarang bisa dilakukan dengan musyawarah bersama para muslim yang lebih dalam agamanya dan keilmuannya. Ijtihad ini hampir sama dengan dewan syuro’ yang ada pada zaman sahabat dahulu. Ijtihad ini dilakukan untuk kepentingan umum kaum muslim dan cukup.
Ijtihad kolektif sebuah upaya optimal dari mayoritas ahli fiqih untuk sampai pada sebuah hipotesa terhadap hukum syariat dengan cara menyimpulkan dan telah mencapai kesepakatan bersama atau mayoritas dari mereka semua setelah mengadakan tukar pendapat untuk menentukan suatu hukum.Tujuannya adalah untuk meneliti berbagai problematika modernitas dan berbagai hal yang dibutuhkan umat, sehingga mereka sepakat terhadap hal-hal yang dipandang dapat menghasilkan kemaslahatan.
  Lembaga ijtihad kolektif terbagi menjadi tiga macam, yaitu tingkat internasional, nasional, dan lokal. Contoh lembaga ijtihad kolektif tingkat internasional adalah OKI (organisasi konferensi islam) yang biasanya membahas muktamar tahunan tentang permasalahan Negara Islam di belahan dunia.
Sedangkan lembaga kolektif tingkat regional adalah MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang menaungi lembaga keagamaan di Indonesia. MUI juga membahas tentang tradisi, kebiasaan, untuk kemaslahatan bersama. Mereka mengeluarkan fatwa-fatwa yang berkenaan dengan kehseharian umat Islam. Contoh fatwanya antara lain pelarangan rokok untuk ibu hamil dan anak-anak.
Contoh penerapan ijtihad kolektif di tingkat regional adalah penetapan satu syawal dan awal ramadhan. Dalam sidang isbat dihadiri oleh beberapa ormas Islam yang berasal dari berbagai aliran dan daerah, pemimpin adat, MUI dan dipimpin oleh Kementrian Agama RI.
Sedangkan lembaga kolektif tingkat local adalah MUI cabang provinsi, atau organisasi masyarakat seperti NU dengan Batsul Masail dan Muhammadiyah dengan Tarjih. Contoh  fatwa lembaga kolektif tingkat lokal adalah pelarangan duduk dengan kaki terbuka bagi wanita di Aceh dalam berkendara motor.



        BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Secara etimologi, ijma’ berasal dari bahasa Arab, yaitu bentuk masdar dari kata أَجْمَعَ- يُجْمِعُ-إِجْمَعٌ   . Ijma’ (الإجماع ) memiliki beberapa arti diantaranya: pertama, ketetapan hati atau keputusan untuk melakukan sesuatu. Kedua, sepakat. Menurut ahli ushul fiqh, ijma’ adalah kesepakatan seluruh para mujtahid di kalangan umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah SAW wafat atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian.
2.      Pembagian ijma’. Dari segi pembentukannya, ijma’ ada dua yaitu ijma’ sharih dan ijma’ sukuti. Sedangkan ditinjau dari segi macam-macamnya, ijma’ ada enam macam yakni, ijma’ ahl al-Madinah, ijma’ ahl al-Haramain, ijma’ ahl al-Mishrain, ijma’ asy-Syaikhan, ijma’ al-Khulafa’ al-Arba’ah, dan ijma’ al-‘Itrah.
3.      Contoh penerapan ijma’ di Indonesia adalah sidang isbat untuk penentuan awal syawal dan ramadhan dan pelarangan duduk di atas kendaraan roda dua dengan kaki terbuka oleh wanita.
B.  Penutup
Demikian makalah ini saya buat dengan sebenar-benarnya. Tiada gading yang tidak retak. Mohon maaf dan kritik serta saran atas makalah saya untuk kesempurnaan makalah saya. Semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Amin.
















DAFTAR PUSTAKA

Pustaka buku
Abdul Hayy Abdul Al, Dr. Pengantar Ushul Fiqh. (Ushul Fiqh al-Islami). Penerjemah Muhammad Misbah, Lc. M.Hum. Jakarta: PT Pustaka al-Kautsar. Cet.I. 2014
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul al-Fiqh (Ushul fiqih).Terjemahan Saefullah Ma’shum dkk. Jakarta: PT Pustaka Firdaus. Cet.I. 1994
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul al-Fiqh. Kairo: Dar al-Fikr. 1996
Astuti, Dewi. Kamus Populer Istilah Islam. Jakarta: Penerbit Kalil. Cet. I
Dahlan, Abd. Rahman. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah. Cet.II. 2011
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Cet.I. 2008
Ensiklopedi Ijmak, persepakatan ulama dalam hukum Islam. Penerjemah Sahal Mahfudz, K.H.A.dan Mustafa Bisri, K.H. Jakarta: Pustaka Firdaus.1987
Hameedullah Khan, Muhammad. The Schools of Islamic Jurisprudence. New Delhi: Kitab Bhavan. Cet.III. 2011
Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Cet.II. 1997
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh (Ilmu Ushul Fiqh). Terjemahan Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib. Semarang: Dina Utama Semarang (Toha Putra Group). Cet.I. 1994
Shidik, Safiuddin. Ushul Fiqh. Jakarta: PT Intimedia Cipta Nusantara
Zein, Satria Effendi dkk. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan. 1992

Pustaka online



[1] Nasrun Haroen, Dr. H. M.A., (Ushul Fiqh I), PT Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997,cet. II, h. 51
[2] Satria Effendi Zein dkk, (Ensiklopedi Islam Indonesia), Penerbit Djambatan, Jakarta 1992, tanpa cetakan, h.406
[3] Dewi Astuti, (Kamus Populer Istilah Islam), Penerbit Kalil, Jakarta, tanpa tahun, cet. I, h. 142
[4] Nama asli beliau adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Tusi asy-Syafi’i. Beliau lahir di Thus 1058M/450 H dan wafat pada 1111 M/505 H. Karya beliau antara lain, Ihya Ulumuddin, Kimiya as-Sa’adah, Misykah al-Anwar, Tahafut al-Falasifah, Maqasid al-Falasifah, Mi’yar al-Ilm, dan lain-lain. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Ghazali
[5] (Ensiklopedi Ijmak, persepakatan ulama dalam hukum Islam, terjemahan Sahal Mahfudz, K.H.A.dan Mustafa Bisri, K.H.), Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987, h. XXXiii
[6] Abdul Wahhab Khallaf, Prof.,(Ilmu Ushul Fiqh, terjemahan Moh. Zuhri,  Drs. H. Dipl. TAFL dan Ahmad Qarib Drs. M.A.,Prof), Dina Utama Semarang (Toha Putra Grup), 1994,Semarang, cet.I, h. 56
[7] Muhammad Abu Zahra, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr, Kairo, 1996, h. 156
[8] Muhammad Hameedullah Khan, (The School of Islamic Jurisprudence), Kitab Bhavan, New Delhi, 2001, cet.III, h.30
[9] Departemen Pendidikan Nasional, (Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa), PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, Jakarta, cet. I, edisi IV, h.158
[10] M. Abdul Mujieb dan Mabruri Tholhah Syafi’ah A.M, (Kamus Istilah Fiqih), PT Pustaka Firdaus, Jakarta, 1995, cet. II, h. 115
[11] Safiuddin Shiddik, (Ushul Fiqh), PT Intimedia Cipta Nusantara, 2009, Jakarta, cet. I, h.42-43
[12] Nama aslinya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi’I atau Muhammad bin Idris asy-Syafi’i. beliau dilahirkan di Gaza, Palestina pada tahun 767 M/150 H. beliau  wafat pada tahun 820 M di Fustat, Mesir. Karya-karya beliau yang terkenal adalah kitab ar-Risalah, al-Umm, dan al-Hujjah. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Asy-Syafi%27i
[13] Nama lengkap beliau adalah Malik bin Anas bin Malik bin ‘Amr al-Imam Abu ‘Abd Allah al-Humyari al-Asbahi al-Madani. Beliau lahir di Madinah pada 714 M/ 93 H dan meninggal pada 800 M/ 179 H. beliau adalah pakar ilmu fiqh dan hadis. Salah satu karya beliau adalah kitab al-Muwaththa’. Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Malik_ibn_Anas
[14] Nama lengkap beliau adalah Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan at-Taymi. Beliau lahir di Kufah, Irak 80 H/ 699 M dan meninggal di Baghdad, Irak 148 H/ 767 M. karya beliau antara lain Fiqh Akhbar, al-‘alim Wamultam dan Musnad Fiqh Akhbar. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Hanifah
[15] Nama aslinya adalah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad Al Marwazi Al-Baghdadi. Beliau lahir di Mary, Turkmenistan tahun 780 M/164 H dan wafat di Baghdad, Irak pada  855 M/ 241 H. karya-karya beliau yang terkenal adalah kitab al-Musnad, kitab an-Nasikh wa al-Mansukh, kitab at-Tarikh, kitab Hadits Syu’bah, kitab al-Muqaddam wa al-Muakhhar fi al-Qur’an, kitab Jawabah al-Qur’an, kitab al-Manasik al-Kabir, kitab al-Manasik as-Saghir, dll. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_bin_Hanbal
[16] Muhammad Abu Zahrah, Prof., (Ushul Fiqh, penerjemah Saefullah Ma’shum dkk), PT Pustaka Firdaus,  Jakarta, 1994, cet. I,h.318
[17] Abdul Hayy Abdul Al, Dr., (Pengantar Ushul Fiqh, terjemahan Ushul Fiqh al-Islami, penerjemah Muhammad Misbah, Lc. M.Hum.), PT Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 2014, cet.I, h. 288
[18] Nama asli beliau adalah Hudzifah al-Yaman dan dijuluki Abu Abdillah, pemegang rahasia Rasul. Beliau dilahirkan di Madinah dari ayah Husail Ibn Jabr al-‘absi al-Yamani (Bani ‘Abs). Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Hudzaifah_bin_al-Yaman
[19] Nama lengkapnya adalah 'Abdullah bin 'Utsman bin Amir bi Amru bin Ka'ab bin Sa'ad bin Tayyim bin Murrah bin Ka'ab bin Lu'ay bin Ghalib bin Quraisy. Beliau lahir dengan nama Abdullah Abi Quhafah. Beliau adalah khalifah pertama dari khulafa ar-rasyidin. Lahir pada tahun 572 H dan wafat pada 23 Agustus 634 H/21 Jumadil Akhir 13 H. Beliau memerintah tahun 632-634 H dan meninggal karena sakit. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Bakar_Ash-Shiddiq
[20] Nama lengkap beliau adalah Umar bin Khattab bin Nafiel bin Abdul Uzza. Beliau lahir pada 581 M dan wafat pada hari Rabu 25 Dzulhijjah 23 H/ 644 M. Beliau dibunuh oleh Abu Lu’lu’ (fairuz) orang Persia. Beliau adalah khalifah kedua dari keempat khulafaur rasyidin. Beliau memimpin pemerintahan pada 634-644 M. beliau pula yang mengusulkan adanya kalender hijriyah dalam Islam. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Umar_bin_Khattab
[21] Nama lengkap beliau adalah al-Qadhi Abu Bakar Muhammad bin Abdul Baqi bin Tsabit bin Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin ar-Rabi’ bin Tsabit bin Wahab bin Masyja’ah bin al-Harits bin Abdullah bin Ka’ab bin Malik bin Amr al-Qa’in al-Khazraji as-Sulami al-Anshari al-Baghdadi. Beliau lahir pada 422 H. Lihat http://cara-global.blogspot.com/2010/12/qadhi-al-marastan.html#uds-search-results
[22] Beliau lahir pada 574 M. beliau adalah saudagar yang kaya raya dan menjadi khalifah yang ketiga dalam Khulafa ar-Rasyidin pada 644-656 M (12 tahun). Beliau adalah menantu Nabi Muhammad SAW dan mendapat gelar Dzun Nuraini karena beliau menikahi dua putrid nabi yakni Ummu Kulsum dan Ruqaiyah. Belai adalah salah satu dari Assabiqunal Awwalun. Beliau wafat karena dibunuh oleh Abdurrahman al-Ghafiqi pada 12 Dzulhijjah 35 H/ 656 M. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Utsman_bin_Affan
[23] Beliau lahir pada 13 Rajab  pra 23 H dan wafat pada 21 ramadhan 40 H. beliau adalah khalifah keempat dalam Khulafa ar-Rasyidin. Beliau adalah menantu Nabi Muhammad SAW.  Beliau meninggal karena dibunuh oleh Abu Lu’Lu’ah dari kaum Khawarij pada 40 H. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Ali_bin_Abi_Thalib
[24] Beliau termasuk ahli suffah. Beliau adalah orang miskin yang selalu berada dalam lingkungan Rasulullah seperti Abu Hurairah r.a. Gelar beliau adalah Abu Najih. Beliau hanya meriwayatkan 31 hadis dan wafat di Syam pada 75 H. Lihat http://ceritaayahdanbunda.blogspot.com/2014/10/56-irhadh-bin-sariyah-seri-sahabat-nabi.html
[25] Nama asli beliau adalah Imam al-Hafizh Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak as-Sulami at-Tirmizi. Beliau lahir di kota Tirmiz dan wafat disana pada hari senin 13 Rajab 279 H/ 8 Oktober 892 M dalam usia 70 tahun. Karya beliau antara lain, Jami’ at-Tirmidzi, al-I’lal, at-Tarikh, asy-Syama’il an-Nabawiyah, az-Zuhd, al-Asma’ wa-Kuna. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Tirmidzi
[26] Syi’ah Imamiyyah/ itsna ‘asy’ariyah (dua belas imam) adalah salah satu aliran terbesar dalam golongan Syi’ah dan meyakini adanya dua belas imam. Mereka meyakini bahwa Rasulullah SAW adalah penutup semua nabi dan al-Qur’an mencakup semua hukum yang dibutuhkan manusia dan tidak berubah. Mereka percaya pula bahwa yang berhak memimpin hanyalah para imam dari ahl al-Bayt. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Syi%27ah
[27] Syi’ah Zaidiyah adalah salah satu golongan Syi’ah yang meyakini adanya lima imam. Mereka merupakan pengikut Zaid bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Mereka dianggap moderat karena tidak menganggap ketiga khalifah sebelum Ali tidak sah. Dalam bidang ushuluddin, golongan ini menganut paham mu’tazilah dan bidang furu’uddin mengikuti paham hanafiah. Lihat  http://id.wikipedia.org/wiki/Syi%27ah
[28] Beliau adalah putri bungsu Nabi Muhammad SAW dari perkawinan beliau dengan Khadijah binti Khuwailid. Beliau meninggal pada 632 H. beliau melahirkan empat anak yaitu Hasan, Husein, Ummu Kalsum dan Zainab. Beliau menikah dalam usia 27 tahun. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Fatimah_az-Zahra
[29] Beliau adalah putra Ali bin Abi Thalib yang pertama dan cucu nabi yang pertama. Beliau dilahirkan tahun kedua hijriah dan wafat pada 669 M. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Hasan_bin_Ali
[30] Beliau adalah putra Ali bin abi Thalib yang dilahirkan oleh Fatimah Az-Zahra pada  3 Sya’ban 4 H. beliau meninggal di Karbala tahun 680 M. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Husain_bin_Ali
[31] Abd. Rahman Dahlan Dr. H. M.A., (Ushul Fiqh), Amzah, Jakarta, 2011, cet. II, h.151-155

Tidak ada komentar:

Posting Komentar