Translate

Kamis, 23 April 2015

ibadah



A.     Pendahuluan
Sebagai salah satu tujuan diciptakannya manusia di muka bumi ini oleh Tuhan Yang Maha Esa adalah beribadah kepada-Nya dengan menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Ibadah  adalah satu dari berbagai perintah Tuhan yang harus dilaksanakan sebagai hamba-Nya yang taat.
Namun, banyak penyimpangan dan perbedaan mengenai   apa pengertian ibadah itu sendiri.  Ibadah yang begitu sederhana terlihat sangat kompleks pembahasannya. Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan membahas mengenai pengertian ibadah, meliputi pengertiannya, tujuan, bentuk-bentuknya dan macam-macamnya.
B.     Pengertian Ibadah
Kata ibadah berasal dari bahasa Arab yakni عَبَدَ- يَعْبُدُ عِبَادَةً yang artinya taat, patuh, dan tunduk dengan setunduk-tunduknya, artinya mengikuti seluruh perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Karena makna asli ibadah itu sendiri adalah menghamba, dapat pula diartikan sebagai bentuk perbuatan yang menghambakan diri sepenuhnya kepada Allah SWT.[1]
Menurut Yusuf Qardhawi, ibadah di kalangan Arab diartikan
اَلْعِبَادَةُ ضَرْبَةٌ مِنَ الْحُضُوْعِ بَالَغَ حَدَّ النِّهَايَةِ نَاشِئُ السْتِشْعَارِ الْقَلْبِ عُظْمَةً لِلْمَعْبُوْدِ

Ibadah adalah puncak ketundukan yang tertinggi yang timbul dari kesadaran hati sanubari dalam rangka mengagungkan yang disembah.
Menurut ulama tauhid dan ahli hadis, ibadah adalah
تَوْحِيْدُ اللهِ وَتَعْظِيْمُهُ غَايَةَ التَّعْظِيْمِ مَعَ التَّدَلُّلِ وَالْحُضُوْعِ لَهُ

Mengesakan dan mengagungkan Allah sepenuhnya serta menghinakan diri dan menundukkan jiwa kepada-Nya.
Menurut ulama tasawuf mendefinisikan ibadah sebagai berikut
فِعْلُ الْمُكَلَّفِ عَلَى خِلاَفِ هَوَى نَفْسِهِ تَعْظِيْمًا لِرَبِّهِ

Pekerjaan seorang mukallaf yang berlawanan dengan keinginan nafsunya untuk membesarkan Tuhannya.
Menurut ahli fiqh, ibadah adalah 
مَا أُدَيْتِ ابْتِغَاءً لِوَجْهِ اللهِ وَطَلَبًا لِثَوَابِهِ فِى الأَخِيْرَةِ

Segala bentuk ketaatan yang engkau kerjakan untuk mencapai keridhaan Allah SWT dan mengharapkan pahala-Nya di akhirat.
Menurut ulama akhlak, ibadah memiliki pengertian
اَلْعَمَلُ بِاالطّاَعَاتِ الْبَدَنِيَّةِ وَالْقِيَامُ بِالشَّرِئِعِ
Artinya: “ Mengerjakan dengan penuh ketaatan jasmaniah dan menegakkan (amalan-amalan) dengan syari’at.”
Dari semua pengertian yang dikemukakan oleh para ahli diatas dapat ditarik kesimpulan umum dari pengertian ibadah, yaitu
اَلْعِبَادَةُ هُوَ اِسْمٌ جَامِعٌ لِمَايُحِبُّهُ اللهُ وَيَرْضَاهُ قَوْلاً كَانَ أَوْ فِعْلاً جَلِيًّا كَانَ أَوْ حَفِيًّا تَعْظِيْمًا لَهُ وَطَلَبًا لِثَوَابِهِ

Ibadah itu nama yang mencakup segala perbuatan yang disukai dan diridhai oleh Allah SWT, baik berupa perkataan maupun perbuatanbaik terang-terangan maupun tersembunyi dalam rangka mengagungkan Allah SWT dan mengharapkan pahalanya. [2]

C.     Tujuan Ibadah
Secara aqliyah, beribadah merupakan kebutuhan spiritual umat manusia yang beriman kepada Allah karena ibadah merupakan bagian dari tata cara berterima kasih kepada Rahman dan Rahimnya Allah. Akan tetapi, di sisi lain, Allah dan Rasul-Nya mewajibkan seluruh hambanya untuk beribadah dengan tujuan agar semua hamba Allah merdeka dan tidak terbelenggu oleh sikap-sikap yang menghambakan diri kepada sesama hamba Allah. Oleh karena itu, tidak rasional jika harus menghambakan diri kepada manusia yang sesama makhluk Tuhan yang tidak berdaya dan lemah di mata Allah.
Ibadah dilaksanakan harus dilandasi dengan niat yang ikhlas sebab tanpa keikhlasan hati kita tidak mengerti apa yang dikehendaki Allah SWT. Kita sebagai makhluk sering meminta hak kita terhadap Sang Khaliq, kita juga harus memenuhi apa yang dikehendaki Tuhan yakni, melaksanakan kewajiban kita.
Makna ibadah bukan semata-mata menggugurkan kewajiban, melainkan suatu sistem bertaqarrub kepada Allah karena Allah yang menciptakan semua makhluk, bumi, langit, semesta, galaksi serta isinya. Taqarrub merupakan upaya mendekatkan diri secara intensif kepada Allah agar semua do’a orang yang beriman didengar dan dikabulkan. Taqarrub yang paling ideal adalah dengan cara melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Manusia sebagai khalifatu fil ard harus menghambakan diri kepada Allah.
Ibadah juga dilakukan untuk mencapai kebahagiaan manusia itu sendiri, baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan diciptakannya manusia di muka bumi ini yaitu untuk beribadah kepada Allah SWT. Yusuf Qardhawi mengemukakan bahwa ibadah merupakan kewajiban dari apa yang disyari’atkan Allah SWT yang disampaikan oleh para Rasul-Nya dalam bentuk perintah dan larangan. Kewajiban itu muncul dari lubuk hati orang yang mencintai Allah SWT. Sesuai dengan firman Allah surat adz-Dzariyat ayat 56, yang berbunyi
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنْسَ اِلاَّ لِيَعْبُدُوْنَ (الذريات:56)
Artinya: “ Aku tidak akan menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat : 56)
Ibadah juga bertujuan untuk menghindarkan diri dari perbuatan keji dan mungkar dan menciptakan kemashlahatan diri manusia dan terwujudnya usaha yang baik. Hal ini sesuai firman Allah surat al-‘Ankabut ayat 45
اِنّض الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَخْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرُ (العنكبوت:45)
Artinya:” Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar dan sesungguhnya mengingat Allah SWT lebih besar.”(QS. Al-Ankabut:45) [3]

D.     Bentuk-Bentuk Ibadah
Ibadah memiliki beberapa bentuk yang dipandang dari berbagai segi, yakni
1.      Dari segi pelaksanaan
a.       Ibadah jasmaniah-ruhaniah, maksudnya ibadah yang dilakukan dengan memadukan ibadah jasmani dan ruhani. Contohnya: shalat dan puasa.
b.      Ibadah ruhiah dan maliah, maksudnya ibadah yang dilakukan dengan menggunakan harta dan ruhaniah kita. Contohnya: zakat.
c.       Ibadah jasmaniah, ruhaniah, dan maliah, maksudnya ibadah yang dilakukan dengan mengikutsertakan jasmani, harta, serta ruhaniah kita. Contohnya: haji.
2.      Dari segi kepentingan
a.       Kepentingan fardi, maksudnya ibadah yang dilakukan secara perorangan. Seperti, shalat dan puasa.
b.      Kepentingan ijtima’i, maksudnya ibadah yang dilakukan secara bersama-sama atau bermasyarakat. Seperti, zakat dan haji.
3.      Dari segi bentuk dan sifatnya
a.       Perkataan/ lisan, artinya ibadah yang dilakukan dengan perkataan dan lisan kita. Contohnya: berdzikir, berdo’a, tahmid, dan membaca al-Qur’an.
b.      Perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya, artinya ibadah yang dilaksanakan tanpa perlu perwujudan perbuatan tersebut. Contohnya: menolong orang lain dan mengurus jenazah.
c.       Pekerjaan yang telah ditentukan wujud perbuatannya, artinya ibadah yang perbuatannya sudah diatur secara pasti. Contohnya: puasa, zakat, dan haji.
d.      Tata cara dan pelaksanaannya berbentuk menahan diri, artinya ibadah yang perbuatannya berbentuk menahan diri dari hawa nafsu. Contohnya: i’tikaf, puasa dan ihram
e.       Menggugurkan hak, artinya ibadah yang dilakukan dengan pengguguran kewajiban atau hak orang lain. Contohnya: memaafkan kesalahan dan membebaskan utang orang lain.[4]
Dalam pembagian bentuk-bentuk ibadah tersebut, dapat diambil pemahaman bahwa semua ibadah hamba Allah berkaitan dengan niat yang ada dalam hatinya. Oleh karena itu, semua kehidupan manusia dapat bernilai ibadah apabila dilaksanakan atas dasar keimanan kepada Allah SWT dan kepada hari akhirat. Semua perbuatan sebagai bentuk terima kasih kepada Allah SWT dan hanya Allah lah yang membalasnya.
Semua pembalasan ibadah hamba Allah tidak ada kaitannya dengan hamba Allah lainnya meskipun ibadah yang dilakukan berhubungan dengan sesama manusia. Tak seorang pun berhak memaksa orang yang diberi kebajikan untuk membalas kembali kebajikannya.

E.      Macam-Macam Ibadah
Secara umum , bentuk perintah beribadah kepada Allah dibagi menjadi dua, yaitu
1)      Ibadah Mahdhah
Ibadah mahdhah adalah ibadah yang perintah dan larangan-Nya sudah jelas secara dzahir dan tidak memerlukan penambahan atau pengurangan. Ibadah ini ditetapkan oleh dalil-dalil yang kuat (qath’i), misalnya perintah shalat, zakat, puasa, ibadah haji, dan bersuci dari hadas kecil maupun besar.
2)      Ibadah Ghairu Mahdhah
Ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah yang cara pelaksanaannya dapat direkayasa oleh manusia, artinya bentuknya dapat beragam dan mengikuti situasi dan kondisi, tetapi substansi ibadahnya tetap terjaga. Misalnya perintah melaksanakan perdagangan dengan cara halal dan bersih, larangan melakukan perdagangan dengan riba, mengandung unsur penipuan dan sebagainya. Dalam praktik perdagangannya, baik bentuk objeknya dibebaskan, misalnya Rasulullah SAW berdagang hasil pertanian, maka bukan berarti semua umat Islam wajib berdagang hasil pertanian, tetapi merupakan kebolehan untuk umat Islam melakukan perdagangan baik berupa peternakan, perikanan, perkebunan, pertanian dan sebagainya. [5]
Dilihat dari tata cara melaksanakannya, ibadah memiliki bergai macam, yakni
a)      Ibadah badaniyah (dzatiyah), seperti shalat.
b)      Ibadah maaliyah, seperti zakat.
c)      Ibadah ijtima’iyah, seperti haji, shalat berjama’ah, shalat idul fitri dan idul adha, dan shalat jum’at.
d)     Ibadah ijabiyah, seperti thawaf.
e)      Ibadah salbiyah, seperti meninggalkan segala yang diharamkan semasa berihram.
Dilihat dari niat melaksanakannya, ibadah dapat dibagi menjadi dua macam:
(1)   Ibadah hakiki, yakni ibadah yang dilakukan sepenuh-penuhnya untuk ibadah semata. Misalnya, berdo’a kepada Allah. Ibadah hakiki bersifat ghair ma’qulatil-ma’na, artinya maknanya tidak dipahami secara ma’qul, tidak jelas maksud dan hikmahnya. Ibadah hakiki adalah adalah semua bentuk ibadah yang sifat dasarnya ukhrawiyah meskipun dilakukan melalui unsur alami, misalnya melaksanakan shalat.
(2)   Ibadah sifati, artinya yang perbuatannya memiliki nilai-nilai ibadah. Ibadah seperti ini jelas sifat-sifatnya atau ma’qulatul-ma’na atau ‘umur ‘adiyah. Semua urusan ibadah social atau bernilai duniawi yang mengandung unsur ukhrawi, dalam pelaksanaannya, memiliki hukum asal mubah dan tidak mutlak dilaksanakan. Hukumnya dapat berubah-ubah, misalnya melaksanakan pernikahan.[6]




[1] Abdul Hamid, Drs. K.H., M.Ag dan Beni Ahmad Saebani, Drs., M.Si, (Fiqh Ibadah), CV Pustaka Setia, Bandung, 2009, cet.I, h. 61
[2] A. Rahman Ritonga, Dr. M.A. dan Zainuddin, Dr, M.A.,( Fiqh Ibadah), Gaya Media Pratama, Jakarta, 2002, cet.II, h.2-3
[3] A. Rahman Ritonga, Dr. M.A. dan Zainuddin, Dr, M.A., ibid, h. 4-6
[4] Ahmad Thib Raya, Prof. Dr. H., M.A. dan Siti Musdah Mulia Dr. Hj., M.A., (Menyelami Seluk-Beluk Ibadah dalam Islam), Prenada Media, 2003, Tanpa Cetakan, h. 137-142
[5] A. Rahman Ritonga, Dr. M.A. dan Zainuddin, Dr, M.A., ibid, h.14
[6] Abdul Hamid, Drs. K.H., M.Ag dan Beni Ahmad Saebani, Drs., M.Si,op.cit.,72-73

Tidak ada komentar:

Posting Komentar