A. Pendahuluan
Sebagai salah satu tujuan diciptakannya
manusia di muka bumi ini oleh Tuhan Yang Maha Esa adalah beribadah kepada-Nya
dengan menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Ibadah adalah satu dari berbagai perintah
Tuhan yang harus dilaksanakan sebagai hamba-Nya yang taat.
Namun, banyak penyimpangan dan perbedaan
mengenai apa pengertian ibadah itu
sendiri. Ibadah yang begitu sederhana
terlihat sangat kompleks pembahasannya. Oleh karena itu, dalam makalah ini kami
akan membahas mengenai pengertian ibadah, meliputi pengertiannya, tujuan,
bentuk-bentuknya dan macam-macamnya.
B. Pengertian Ibadah
Kata ibadah berasal dari bahasa Arab yakni عَبَدَ- يَعْبُدُ – عِبَادَةً yang artinya taat, patuh, dan tunduk dengan setunduk-tunduknya, artinya
mengikuti seluruh perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Karena makna asli
ibadah itu sendiri adalah menghamba, dapat pula diartikan sebagai bentuk
perbuatan yang menghambakan diri sepenuhnya kepada Allah SWT.[1]
Menurut Yusuf Qardhawi, ibadah di kalangan
Arab diartikan
اَلْعِبَادَةُ ضَرْبَةٌ مِنَ الْحُضُوْعِ
بَالَغَ حَدَّ النِّهَايَةِ نَاشِئُ السْتِشْعَارِ الْقَلْبِ عُظْمَةً
لِلْمَعْبُوْدِ
Ibadah adalah puncak ketundukan yang tertinggi yang timbul dari
kesadaran hati sanubari dalam rangka mengagungkan yang disembah.
Menurut
ulama tauhid dan ahli hadis, ibadah adalah
تَوْحِيْدُ اللهِ وَتَعْظِيْمُهُ غَايَةَ
التَّعْظِيْمِ مَعَ التَّدَلُّلِ وَالْحُضُوْعِ لَهُ
Mengesakan dan mengagungkan Allah sepenuhnya serta menghinakan diri dan
menundukkan jiwa kepada-Nya.
Menurut ulama
tasawuf mendefinisikan ibadah sebagai berikut
فِعْلُ الْمُكَلَّفِ عَلَى خِلاَفِ هَوَى
نَفْسِهِ تَعْظِيْمًا لِرَبِّهِ
Pekerjaan seorang mukallaf yang berlawanan dengan keinginan nafsunya
untuk membesarkan Tuhannya.
Menurut ahli
fiqh, ibadah adalah
مَا أُدَيْتِ ابْتِغَاءً لِوَجْهِ اللهِ
وَطَلَبًا لِثَوَابِهِ فِى الأَخِيْرَةِ
Segala bentuk ketaatan yang engkau kerjakan untuk mencapai keridhaan
Allah SWT dan mengharapkan pahala-Nya di akhirat.
Menurut ulama akhlak, ibadah memiliki
pengertian
اَلْعَمَلُ بِاالطّاَعَاتِ الْبَدَنِيَّةِ
وَالْقِيَامُ بِالشَّرِئِعِ
Artinya: “
Mengerjakan dengan penuh ketaatan jasmaniah dan menegakkan (amalan-amalan)
dengan syari’at.”
Dari semua
pengertian yang dikemukakan oleh para ahli diatas dapat ditarik kesimpulan umum dari pengertian
ibadah, yaitu
اَلْعِبَادَةُ هُوَ اِسْمٌ جَامِعٌ لِمَايُحِبُّهُ اللهُ وَيَرْضَاهُ
قَوْلاً كَانَ أَوْ فِعْلاً جَلِيًّا كَانَ أَوْ حَفِيًّا تَعْظِيْمًا لَهُ
وَطَلَبًا لِثَوَابِهِ
Ibadah itu nama yang mencakup segala perbuatan yang disukai dan diridhai
oleh Allah SWT, baik berupa perkataan maupun perbuatanbaik terang-terangan
maupun tersembunyi dalam rangka mengagungkan Allah SWT dan mengharapkan
pahalanya. [2]
C. Tujuan Ibadah
Secara aqliyah, beribadah merupakan
kebutuhan spiritual umat manusia yang beriman kepada Allah karena ibadah
merupakan bagian dari tata cara berterima kasih kepada Rahman dan Rahimnya
Allah. Akan tetapi, di sisi lain, Allah dan Rasul-Nya mewajibkan seluruh
hambanya untuk beribadah dengan tujuan agar semua hamba Allah merdeka dan tidak
terbelenggu oleh sikap-sikap yang menghambakan diri kepada sesama hamba Allah.
Oleh karena itu, tidak rasional jika harus menghambakan diri kepada manusia
yang sesama makhluk Tuhan yang tidak berdaya dan lemah di mata Allah.
Ibadah dilaksanakan harus dilandasi dengan
niat yang ikhlas sebab tanpa keikhlasan hati kita tidak mengerti apa yang
dikehendaki Allah SWT. Kita sebagai makhluk sering meminta hak kita terhadap
Sang Khaliq, kita juga harus memenuhi apa yang dikehendaki Tuhan yakni,
melaksanakan kewajiban kita.
Makna ibadah bukan semata-mata menggugurkan
kewajiban, melainkan suatu sistem bertaqarrub kepada Allah karena Allah yang
menciptakan semua makhluk, bumi, langit, semesta, galaksi serta isinya.
Taqarrub merupakan upaya mendekatkan diri secara intensif kepada Allah agar
semua do’a orang yang beriman didengar dan dikabulkan. Taqarrub yang paling
ideal adalah dengan cara melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya. Manusia sebagai khalifatu fil ard harus menghambakan diri kepada
Allah.
Ibadah juga dilakukan untuk mencapai
kebahagiaan manusia itu sendiri, baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan diciptakannya manusia di
muka bumi ini yaitu untuk beribadah kepada Allah SWT. Yusuf Qardhawi
mengemukakan bahwa ibadah merupakan kewajiban dari apa yang disyari’atkan Allah
SWT yang disampaikan oleh para Rasul-Nya dalam bentuk perintah dan larangan.
Kewajiban itu muncul dari lubuk hati orang yang mencintai Allah SWT. Sesuai
dengan firman Allah surat adz-Dzariyat ayat 56, yang berbunyi
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنْسَ اِلاَّ
لِيَعْبُدُوْنَ (الذريات:56)
Artinya:
“ Aku tidak akan menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah
kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat : 56)
Ibadah juga
bertujuan untuk menghindarkan diri dari perbuatan keji dan mungkar dan
menciptakan kemashlahatan diri manusia dan terwujudnya usaha yang baik. Hal ini
sesuai firman Allah surat al-‘Ankabut ayat 45
اِنّض الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَخْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللهِ
اَكْبَرُ (العنكبوت:45)
Artinya:” Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar dan
sesungguhnya mengingat Allah SWT lebih besar.”(QS. Al-Ankabut:45) [3]
D. Bentuk-Bentuk Ibadah
Ibadah memiliki beberapa bentuk yang
dipandang dari berbagai segi, yakni
1. Dari segi pelaksanaan
a. Ibadah jasmaniah-ruhaniah, maksudnya ibadah
yang dilakukan dengan memadukan ibadah jasmani dan ruhani. Contohnya: shalat
dan puasa.
b. Ibadah ruhiah dan maliah, maksudnya ibadah
yang dilakukan dengan menggunakan harta dan ruhaniah kita. Contohnya: zakat.
c. Ibadah jasmaniah, ruhaniah, dan maliah,
maksudnya ibadah yang dilakukan dengan mengikutsertakan jasmani, harta, serta
ruhaniah kita. Contohnya: haji.
2. Dari segi kepentingan
a. Kepentingan fardi, maksudnya ibadah yang
dilakukan secara perorangan. Seperti, shalat dan puasa.
b. Kepentingan ijtima’i, maksudnya ibadah yang
dilakukan secara bersama-sama atau bermasyarakat. Seperti, zakat dan haji.
3. Dari segi bentuk dan sifatnya
a. Perkataan/ lisan, artinya ibadah yang
dilakukan dengan perkataan dan lisan kita. Contohnya: berdzikir, berdo’a,
tahmid, dan membaca al-Qur’an.
b. Perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya,
artinya ibadah yang dilaksanakan tanpa perlu perwujudan perbuatan tersebut.
Contohnya: menolong orang lain dan mengurus jenazah.
c. Pekerjaan yang telah ditentukan wujud
perbuatannya, artinya ibadah yang perbuatannya sudah diatur secara pasti.
Contohnya: puasa, zakat, dan haji.
d. Tata cara dan pelaksanaannya berbentuk
menahan diri, artinya ibadah yang perbuatannya berbentuk menahan diri dari hawa
nafsu. Contohnya: i’tikaf, puasa dan ihram
e. Menggugurkan hak, artinya ibadah yang
dilakukan dengan pengguguran kewajiban atau hak orang lain. Contohnya:
memaafkan kesalahan dan membebaskan utang orang lain.[4]
Dalam pembagian bentuk-bentuk ibadah
tersebut, dapat diambil pemahaman bahwa semua ibadah hamba Allah berkaitan
dengan niat yang ada dalam hatinya. Oleh karena itu, semua kehidupan manusia
dapat bernilai ibadah apabila dilaksanakan atas dasar keimanan kepada Allah SWT
dan kepada hari akhirat. Semua perbuatan sebagai bentuk terima kasih kepada
Allah SWT dan hanya Allah lah yang membalasnya.
Semua pembalasan ibadah hamba Allah tidak
ada kaitannya dengan hamba Allah lainnya meskipun ibadah yang dilakukan berhubungan
dengan sesama manusia. Tak seorang pun berhak memaksa orang yang diberi
kebajikan untuk membalas kembali kebajikannya.
E. Macam-Macam Ibadah
Secara umum , bentuk perintah beribadah
kepada Allah dibagi menjadi dua, yaitu
1) Ibadah Mahdhah
Ibadah mahdhah adalah ibadah yang perintah
dan larangan-Nya sudah jelas secara dzahir dan tidak memerlukan penambahan atau
pengurangan. Ibadah ini ditetapkan oleh dalil-dalil yang kuat (qath’i),
misalnya perintah shalat, zakat, puasa, ibadah haji, dan bersuci dari hadas
kecil maupun besar.
2) Ibadah Ghairu Mahdhah
Ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah yang
cara pelaksanaannya dapat direkayasa oleh manusia, artinya bentuknya dapat
beragam dan mengikuti situasi dan kondisi, tetapi substansi ibadahnya tetap
terjaga. Misalnya perintah melaksanakan perdagangan dengan cara halal dan
bersih, larangan melakukan perdagangan dengan riba, mengandung unsur penipuan
dan sebagainya. Dalam praktik perdagangannya, baik bentuk objeknya dibebaskan,
misalnya Rasulullah SAW berdagang hasil pertanian, maka bukan berarti semua
umat Islam wajib berdagang hasil pertanian, tetapi merupakan kebolehan untuk
umat Islam melakukan perdagangan baik berupa peternakan, perikanan, perkebunan,
pertanian dan sebagainya. [5]
Dilihat dari tata cara melaksanakannya,
ibadah memiliki bergai macam, yakni
a) Ibadah
badaniyah (dzatiyah), seperti shalat.
b) Ibadah
maaliyah, seperti
zakat.
c) Ibadah
ijtima’iyah, seperti haji, shalat berjama’ah, shalat idul fitri dan idul adha, dan
shalat jum’at.
d) Ibadah
ijabiyah, seperti
thawaf.
e) Ibadah
salbiyah, seperti
meninggalkan segala yang diharamkan semasa berihram.
Dilihat dari niat melaksanakannya, ibadah
dapat dibagi menjadi dua macam:
(1) Ibadah hakiki, yakni ibadah yang dilakukan
sepenuh-penuhnya untuk ibadah semata. Misalnya, berdo’a kepada Allah. Ibadah
hakiki bersifat ghair ma’qulatil-ma’na, artinya maknanya tidak dipahami
secara ma’qul, tidak jelas maksud dan hikmahnya. Ibadah hakiki adalah
adalah semua bentuk ibadah yang sifat dasarnya ukhrawiyah meskipun dilakukan
melalui unsur alami, misalnya melaksanakan shalat.
(2) Ibadah sifati, artinya yang perbuatannya
memiliki nilai-nilai ibadah. Ibadah seperti ini jelas sifat-sifatnya atau ma’qulatul-ma’na
atau ‘umur ‘adiyah. Semua urusan ibadah social atau bernilai duniawi yang
mengandung unsur ukhrawi, dalam pelaksanaannya, memiliki hukum asal mubah dan
tidak mutlak dilaksanakan. Hukumnya dapat berubah-ubah, misalnya melaksanakan
pernikahan.[6]
[1] Abdul Hamid, Drs. K.H., M.Ag dan Beni Ahmad
Saebani, Drs., M.Si, (Fiqh Ibadah), CV Pustaka Setia, Bandung, 2009, cet.I, h.
61
[2] A. Rahman Ritonga, Dr. M.A. dan Zainuddin, Dr,
M.A.,( Fiqh Ibadah), Gaya Media Pratama, Jakarta, 2002, cet.II, h.2-3
[4] Ahmad Thib Raya, Prof. Dr. H., M.A. dan Siti
Musdah Mulia Dr. Hj., M.A., (Menyelami Seluk-Beluk Ibadah dalam Islam), Prenada
Media, 2003, Tanpa Cetakan, h. 137-142
Tidak ada komentar:
Posting Komentar