A. Pengertian Ijma’
Secara etimologi,
ijma’ berasal dari bahasa Arab, yaitu bentuk masdar dari kata أَجْمَعَ- يُجْمِعُ-إِجْمَعٌ . Ijma’ (الإجماع ) memiliki beberapa
arti diantaranya: pertama, ketetapan hati atau keputusan untuk melakukan
sesuatu. Kedua, sepakat. Pengertian ini merujuk pada firman Allah:
ذَهَبُوْا
بِهِ اَجْمَعُوْا اَنْ يَجْعَلُوْهُ فِيْ غَيْبَتِ الْحُبِّ ج(يوسوف:15) فَلَمَّا
Artinya: “Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke
dasar sumur...”(QS. Yusuf:15)
فَأَجْمِعُوْا اَمَرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ
(يونوس : 71)
Artinya:
“... Maka bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu...”(QS.
Yunus :71)[1]
Menurut ahli
ushul fiqh, ijma’ adalah kesepakatan seluruh para mujtahid di kalangan umat
Islam pada suatu masa setelah Rasulullah SAW wafat atas hukum syara’ mengenai
suatu kejadian.[2]
وَالإِجْمَاعُ هُوَ اِتِّفَاقُ
الْمُجْتَهِدِيْنَ مِنَ الأُمَّةِ الأِسْلاَمِيَّةِ فِى عَصْرِ مِنَ الْعُصُوْرِ
بَعْدَ النَّبِيِّ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ عَلَى حُكْمِ
شَرْعِى فِى اَمْرِ مِنَ الأُمُوْرِ الْعَمَلِيَّةِ (رواه امام الشافعى)
Ijma’ adalah
kesepakatan para mujtahid dari umat Islam pada suatu masa setelah wafatnya Nabi
Muhammad SAW terhadap hukum syara’ atas suatu perkara dari perkara-perkara
amaliyah.[3]
In Islamic
legal terminology, ijma’ signifies consensus of opinion, among the jurists of a
particular age on a question of law.(menurut terminology Islam, ijma’ berarti
kesepakatan pendapat antara para mujtahid pada suatu masa mengenai permasalahan
hukum).[4]
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, ijmak adalah kesesuaian pendapat (kata sepakat)
dari para ulama mengenai suatu hal atau peristiwa.[5]
B. Kemungkinan Terjadinya Ijma’
Para ulama berbeda pendapat mengenai kemungkinan terjadinya ijma’. Ibrahim Ibn Siyar Al-Nazhzham[6] dan sebagian ulama Syi’ah[7], berkata: “ sesungguhnya ijma’ yang telah
jelas rukun-rukunnya itu tidak mungkin terjadi menurut adat kebiasaan, karena
sulitnya mewujudkan rukun-rukunnya itu.” Sebab, tidak adanya ukuran yang bisa
mengetahui bahwa seseorang sudah mencapai tingkatan ijtihad ataukah belum.[8]
Selain itu,
ada beberapa argumen yang mereka kemukakan sebagai alasan menolak ijma’, antara
lain:
Pertama,
sesungguhnya ijma’ dimaksudkan oleh jumhur tentang diharuskannya adanya
kesepakatan semua mujtahid pada suatu masa sehingga harus memenuhi dua
criteria, yakni: mengetahui karakter setiap mujtahid yang dikategorikan mampu
untuk mengadakan ijma’ dan mengetahui pendapat masing-masing mujtahid tentang
permasalahan tersebut. Kedua hal ini sulit dilakukan karena tidak ada standard
pasti tentang seorang mujtahid dan perbedaan lingkungan, kewarganegaraan,
bahasa, adat istiadat serta karakter yang menyebabkan sulitnya mencapai titik
sepakat. Tidak mudah pula untuk mengutip pendapat mereka secara kolektif dengan
suatu sistem yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kedua, ijma’
itu harus berdasarkan kepada dalil, baik yang qath’i atupun zhanni. Bila
berlandaskan dalil yang qath’i, maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu tidak
membutuhkan ijma’. Sebaliknya, bila didasarkan pada dalil yang zhanni maka akan
dipastikan para ulama akan berbeda pendapat.[9]
Di samping
itu, Imam Syafi’i[10]
dan Ahmad ibn Hanbal[11]
tidak menerima ijma’ kecuali ijma’ para Shahabat. Imam Syafi’i cenderung
menolak kemungkinan terjadinya ijma’ dengan alas an-alasan sebagai berikut:
1. Para fuqaha berdomisili di berbagai tempat
yang saling berjauhan, sehingga mereka tidak mungkin dapat bertemu.
2. Terjadinya perbedaan pendapat di antara
para fuqaha yang tersebar di berbagai daerah di seluruh negara-negara Islam.
3. Tidak adanya kesepakatan para ulama tentang
orang-orang yang tidak diterima ijma’nya
4. Tidak adanya kesepakatan para ulama tentang
orang-orang yang diterima ijma’nya.
Meskipun
Imam Syafi’i cenderung menolak kemungkinan terjadinya ijma’, akan tetapi di
dalam kitab ar-Risalah[12] dia telah menetapkan bahwa ijma’ dapat
terjadi dalam masalah-masalah yang diperdebatkan.
Imam Ahmad
Ibn Hanbal menjelaskan bahwa siapa yang mengatakan adanya ijma’ terhadap hukum
suatu masalah , maka ia telah berdusta, karena mungkin saja ada mujtahid yang
tidak setuju. Oleh sebab itu, sangat sulit untuk mengetahui adanya ijma’
terhadap hukum suatu masalah. Apabila ada seseorang yang bertanya kepadanya
apakah ijma’ itu ada dan faktual, beliau menjawab, “kami tidak mengetahui ada
mujtahid yang tidak setuju dengan hukum ini.”
Adapun ijma’
dalam pandangan ulama ushul fiqh kontemporer, seperti Muhammad Abu Zahrah[13],
al-Khudari Bek[14],
Abdul Wahhab Khallaf[15],
Fathi al-Duraini[16]
(guru besar fiqh dan ushul fiqh di Universitas Damaskus, Syria) dan Wahbah
al-Zuhaili[17],
mengatakan bahwa ijma’ yang mungkin terjadi hanyalah di zaman sahabat, karena
para sahabat masih berada dalam satu daerah. Adapun pada masa sesudahnya, untuk
melakukan ijma’ tidak mungkin, karena luasnya wilayah Islam dan tidak mungkin
mengumpulkan seluruh ulama pada satu tempat.
Zakiyyudin
Sya’ban[18]
mengatakan bahwa apabila didapati dalam kitab-kitab fiqh ungkapan ijma’, maka
yang mereka maksudkan kemungkinan ijma’ sukuti atau ijma’ kebanyakan ulama’,
bukan ijma’ sebagaimana yang didefinisikan para ahli ushul fiqh.[19]
Walaupun
begitu, ijma’ yang terjadi pada masa dahulu merupakan hujjah yang wajib
diamalkan, karena keumuman dalil yang menunjukkan kehujjahan ijma’ sepanjang
masa.
C. Pendapat Para Ulama tentang Persyaratan Ijma’
Dalam pelaksanaan ijma’ ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Dimana
syarat-syarat-syarat tersebut sangat
menentukan keabsahan ijma’. Jumhur ulama fiqih mengemukakan syarat-syarat
ijma’, yaitu :
a. Yang melakukan ijma’ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan
ijtihad.
b. Kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil (berpendirian
kuat pada agamanya) .
c. Para mujtahid yang terlibat adalah orang yang menghindarkan diri dari
ucapan atau perbuatan bid’ah.
Ketiga
syarat ini disepakati oleh seluruh ulama ushul fiqih. Ada juga syarat lain,
tetapi tidak semua ulama ushul fiqh menyepakatinya, diantaranya:
1) Para mujtahid itu adalah sahabat
2) Mujtahid itu adalah kerabat Rasulullah SAW
3) Mujtahid itu adalah ulama Madinah
4) Hukum yang disepakati itu tidak ada yang
membantahnya sampai wafatnya seluruh mujtahid yang menyepakatinya
5) Tidak terdapat hukum ijma’ sebelumnya yang
berkaitan dengan masalah yang sama
Apabila ada
ulama yang hanya menyepakati poin 1 dan 2, para ulama fiqh menyebutnya ijma’
sahabat.[20]
D. Ijma’ Sebagai Sumber Hukum Islam yang
Ketiga
Jumhur ulama berpendapat, ijma’ merupakan
hujjah yang bersifat qath’i (pasti). Artinya, ijma’ merupakan dasar penetapan
hukum yang bersifat mengikat dan wajib dipatuhi. Itulah sebabnya, jumhur ulama
menetapkan ijma’ sebagai sumber dan dalil hukum yang ketiga setelah al-Qur’an
dan sunnah.
Alasan
para jumhur ulama fiqh mengatakan ijma’ merupakan hujjah yang qath’i dan
menempati urutan ketiga sebagai dalil syara’ adalah
(1) nash
al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 59:
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوا أَطِيْعُو
اللهَ وَ أَطِيْعُوا الرَّسُولَ وَ أُوْلِى الأَمْرِ مِنْكُمْ صلى فَإِنْ
تَنَزَعْتُمْ فِىْ شَيْءٍ فَرُدُّهُ إِلَى اللهِ وَ الرَّسُوْلِ (النسأ: 59)
Artinya: “
Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan Rasul (Nya) dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya)”.( QS.
An-Nisa’ : 59)
Lafadz ulil
amri dalam ayat di atas mengandung dua pengertian sebagaimana tafsir Ibnu
Abbas:
a) Penguasa dunia seperti raja, dan presiden.
b) Penguasa agama yaitu para ulama mujtahid
dan ahli fatwa agama.
Kedua macam
ulil amri di atas wajib ditaati bagi umat Islam untuk mentaatinya selama mereka
tidak bertentangan dengan hukum Allah. Terminologi ijma’ dikaitkan dengan ulil
amri yang kedua yaitu mujtahid atau ahli fatwa agama dimana kedudukan mereka
sebagai pemimpin agama.[21]
(2) Nash Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 115
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ
مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ
نُوَلِّهِ وَمَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَأضتْ مَصِيْرًا (النسا:115)
Artinya: “Barang siapa yang menentang
Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan bukan jalan
orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ke dalam Jahannam. Dan (Jahannam itu)
seburuk-buruknya tempat kembali.” (QS. An-Nisa’:115)
Jumhur ulama fiqh berpendapat bahwa ancaman Allah SWT
ditujukan terhadap mereka yang tidak
mengikuti jalannya orang mukmin dan orang yang menentang Rasulullah SAW. Mereka
akan dimasukkan ke neraka Jahannam dan akan mendapat tempat kembali yang buruk.
Hal ini menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh oleh orang mukmin adalah hak dan
wajib diikuti.
Menurut al-Ghazali[22],
ayat diatas menunjukkan bahwa Allah menjadikan orang-orang yang tidak mengikuti
cara-cara yang ditempuh umat Islam sebagai orang-orang yang menentang Allah dan
Rasul-Nya. Menentang Allah dan Rasul-Nya itu
hukumnya haram.[23]
(3) Nash al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 143
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَكُمْ اُمَّةً وَسَطًا
لِتَكُوْنُوْأ شُهَدَآءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ
شَهِيْدًا (البقرة : 143)
Artinya: “ Dan demikian pula Kami telah
menjadikan kamu umat yang pertengahan agar kamu menjadi saksi atas manusia dan
agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas kamu.” (QS. Al-Baqarah :143)
Kata
al-wasth (pertengahan) diatas mengandung arti adil dan terpilih.
Sedangkan kesepakatan yang lahir dari umat yang adil dan terpilih adalah al-haqq
(kebenaran). Karena ijma’ lahir dari umat Islam yang adil dan terpilih
tersebut, maka sesuatu yang dihasilkan ijma’ tersebut adalah kebenaran.
(4) Nash Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 110
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ
لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِا الْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
وَتُؤْمَنُوْنَ بِا اللهِ
(على
عمران :110)
Artinya : “ Kamu adalah umat terbaik
yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari
yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”
(QS.
Ali Imran : 110)
Pujian yang diberikan oleh Allah kepada
umat Islam pada ayat di atas menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang
adil dan pilihan. Karena itu, ijma’ yang mereka hasilkan merupakan hujjah.[24]
(5) Hadis Rasulullah SAW
اُمَّتِى لاَ تَجْتَمِعُ عَلَى الْخَطَاءِ
(رواه الترمذى)
Artinya : “ Umatku tidak akan melakukan
kesepakatan terhadap hal yang salah.” (HR. Tirmidzi[25])
وَسَأَلْتُ اللهَ اَنْ لاَ تَجْتَمِعَ
اُمَّتِى عَلَى ضَلاَلَةٍ فَأَعْطَنِيْهَا (رواه احمد ابن حنبل و الطبران)
Artinya : “ Saya mohon kepada Allah agar
umatku tidak sepakat melakukan kesesatan lalu Allah mengabulkannya.” (HR.
Ahmad ibn Hanbal dan al-Thabrani[26])
لاَتَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ اُمَّتِى عَلَى
الْحَقِّ ظَاهِرِيْنَ لاَيَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ (رواه بخارى و مسلم )
Artinya : “ Golongan umatku senantiasa dalam kebenaran yang nyata dan
mereka tidak akan mendapat mudharat dari orang-orang yang berbeda pendapat
dengan mereka.” (HR. Bukhari[27]
dan Muslim[28])
Seluruh hadits itu menurut Abdul Wahhab Khallaf,
menunjukkan bahwa suatu hukum yang telah disepakati seluruh mujtahid sebenarnya
hukum umat Islam seluruhnya yang diperankan oleh para mujtahid mereka. Oleh
sebab itu, sesuai dengan kandungan-kandungan hadits diatas, tidak mungkin para
mujtahid tersebut melakukan kesalahan dalam menetapkan hukum. Apabila seluruh
umat telah bersepakat melalui imam mujtahid mereka, maka tidak ada alasan untuk
menolaknya.[29]
(6) Atsar yang diriwayatkan oleh Imam Syafi’i,bahwa
suatu hari Khalifah Umar ibn Khattab R.A[30]
memberikan khotbah di Syam, kemudian beliau berkata:
اِنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَامَ فِيْنَا
كَمَقَامِى فِيْكُمْ فَقَالَ: اَكْرِمُوْا اَصْحَابِى ثُمَّ الَّذِيْنَ
يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ يَظْهَرُ الْكِذْبُ حَتَّى
اَنَّ الرَّجُلَ يَحْلِفُ وَلاَ يُسْتَحْلَفُ
وَيَشْهَدُ وَلاَ يَسْتَشْهَدُ اَلاَ فَمَنْ سَرَّهُ بَحْبَحَةُ الْجَنَّةِ
فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَةَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْفَدِّ وَهُوَ مِنَ
الإِثْنَيْنِ اَبْعَدُ وَلاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِإِمْرَأَةٍ فَإِنَّ
الشَّيْطَانَ ثَالِثُهُمَا وَمَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَةٌ وَسَاءَتْهُ سَيِّئَةٌ
فَهُوَ مُؤْمِنٌ (رواه امام الشافعى)
Artinya: “(suatu ketika) Rasulullah SAW berdiri di
hadapan kita (para sahabat) sebagaimana saya berdiri di hadapan kalian. Kemudian generasi sesudahnya (tabi’in),
kemudian generasi sesudahnya lagi (tabi’it tabi’in). Setelah generasi itu maka
muncullah kebohongan, sehingga ada seseorang yang bersaksi, padahal ia tidak
diminta untuk menjadi saksi. Ingatlah barangsiapa ingin masuk surga, maka
ikutilah para jama’ah. Karena para Syaitan itu bersama orang yang menyendiri,
dan ia akan lebih jauh kepada dua orang (dibanding hanya seseorang). Jika ada
dua sejoli (seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan suami isteri,
dan bukan mahram) bersepi-sepi, maka syaitanlah teman yang ketiga. Barangsiapa
bergembira atas kebaikannya, dan bersedih atas kejelekan perbuatannya, maka ia
adalah orang mukmin sejati.’’ (Diriwayatkan oleh Imam Syafi’i)
Yang dimaksud mengikuti jama’ah adalah mengikuti
pendapat yang telah mereka sepakati.[31]
Dalil-dalil yang mendasari ijma’ sebagai
sumber hukum yang ketiga baik berupa ayat al-Qur’an, hadis nabi, dan atsar
menunjukkan bahwasanya ijma’ merupakan hujjah yang wajib diambil (dipegang)
dalam hukum-hukum syar’iyah. Kesepakatan para mujtahid meski mereka memiliki
perbedaan dan pandangan dan lingkungan tempat mereka tinggal, semua ini
menunjukkan akan kebenaran kesepakatan mereka.
Ijma’ juga harus dibangun atas fondasi
pandangan syar’i. ia memiliki sandaran syara’. Sebab, seorang mujtahid tidaklah
membangun suatu hukum tanpa fondasi dalil. Apabila mereka menemukan dalil atas
suatu hkum, maka tidak boleh dilanggar.
[1]
Nasrun Haroen, Dr. H. M.A., (Ushul Fiqh I), PT Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997,cet.
II, h. 51
[2] Abdul
Wahhab Khallaf, Prof.,(Ilmu Ushul Fiqh, terjemahan Moh. Zuhri, Drs. H. Dipl. TAFL dan Ahmad Qarib Drs.
M.A.,Prof), Dina Utama Semarang (Toha Putra Grup), 1994,Semarang, cet.I, h. 56
[4] Muhammad Hameedullah Khan, (The School of
Islamic Jurisprudence), Kitab Bhavan, New Delhi, 2001, cet.III, h.30
[5]
Departemen Pendidikan Nasional, (Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa), PT
Gramedia Pustaka Utama, 2008, Jakarta, cet. I, edisi IV, h.158
[6] Ibrahim Ibn Siyar al-Nazhzham wafat pada tahun
836 M. Beliau adalah seorang tokoh terkemuka Mu’tazilah. Beliau juga pemikir
paling lantang mengenai kekuasaan akal. Beliau mempunyai otak yang sangat
cemerlang yang melampaui zamannya. Beliau berfikir bahwa ada dua hal yang
mendasari kebangkitan dan kemajuan Eropa, yakni keraguan dan percobaan.
[9]
Rachmat Syafe’I, Prof. Dr., M.A., (Ilmu Ushul Fiqih), CV Pustaka Setia,
Bandung, 2010,h.82
[10]
Nama aslinya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi’I atau Muhammad
bin Idris asy-Syafi’i. beliau dilahirkan di Gaza, Palestina pada tahun 767
M/150 H. beliau wafat pada tahun 820 M
di Fustat, Mesir. Karya-karya beliau yang terkenal adalah kitab ar-Risalah,
al-Umm, dan al-Hujjah.
[11]
Nama aslinya adalah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad Al Marwazi
Al-Baghdadi. Beliau lahir di Mary, Turkmenistan tahun 780 M/164 H dan wafat di
Baghdad, Irak pada 855 M/ 241 H.
karya-karya beliau yang terkenal adalah kitab al-Musnad, kitab an-Nasikh wa
al-Mansukh, kitab at-Tarikh, kitab Hadits Syu’bah, kitab al-Muqaddam wa
al-Muakhhar fi al-Qur’an, kitab Jawabah al-Qur’an, kitab al-Manasik al-Kabir,
kitab al-Manasik as-Saghir, dll.
[12]
Kitab yang dikarang oleh Imam Syafi’i. kitab ini adalah kitab yang pertama kali
meletakkan teori hukum Islam (ushul fiqh). Kitab ini lebih membahas pada
tataran teoritis/atau landasan istimbath al-hukm.
[13] Nama asli beliau adalah Muhammad Ahmad Mustafa
Abu Zahrah. Beliau dilahirkan di Mahallah al-Kubra, Mesir pada 1898 M dan
meninggal pada hari Jum’at 12 April 1974 di Zaitun, Kaheran pada usia 76 tahun.
[14] Muhammad al-Khudari wafat pada 8 Syawal 1345 H/
11 april 1927 M. Beliau adalah seorang ahli fiqih dari Mesir. Karyanya adalah Tarikh at-Tasyri’
al-Islamiy.
[15]
Nama aslinya adalah Muhammad bin ‘Abd
al-Wahab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin
Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi.beliau lahir di Najd 115 H/ 1206 M dan beliau dimakamkan
di Dar’iyah (Najd) pada 170 H/ 1793 M.
[16]
Karya beliau adalah al-Haqq al-Ibtikar fi al-Fiqh al-Islami al-Muqarran.
[17]
Wahbah az-Zuhaili dilahirkan di desa Dir Athiyah, daerah Qalmun, Damsyiq, Syria
pada 6 Maret 1932 M. beliau merupakan murid dari Abu Zahrah dan Mahmud Syaltut.
Beliau mempunyai buku mencapai 300 buah dan 500 tulisan tangan.
[21] Safiuddin Shidik, Drs., M.Ag., (Ushul Fiqh), PT
Intimedia Cipta Nusantara, Jakarta, Tanpa Tahun, Tanpa Cetakan, h. 40-41
[22]
Nama asli beliau adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Tusi
asy-Syafi’i. Beliau lahir di Thus 1058M/450 H dan wafat pada 1111 M/505 H.
Karya beliau antara lain, Ihya Ulumuddin, Kimiya as-Sa’adah, Misykah al-Anwar,
Tahafut al-Falasifah, Maqasid al-Falasifah, Mi’yar al-Ilm, dan lain-lain.
[25] Nama asli beliau adalah Imam al-Hafizh Abu Isa
Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak as-Sulami at-Tirmizi. Beliau
lahir di kota Tirmiz dan wafat disana pada hari senin 13 Rajab 279 H/ 8 Oktober
892 M dalam usia 70 tahun. Karya beliau antara lain, Jami’ at-Tirmidzi,
al-I’lal, at-Tarikh, asy-Syama’il an-Nabawiyah, az-Zuhd, al-Asma’ wa-Kuna.
[26] Nama asli beliau adalah Abu Ja’far Muhammad bin
Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amali ath-Thabari. Beliau lahir di
kota Amol, Tabaristan (sebelah selatan Laut Kaspia) pada tahun 838 M dan wafat
pada 923 M. Karya beliau diantaranya, Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk dan Tafsir
al-Tabari.
[27] Nama asli beliau adalah Abu Abdullah Muhammad
bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al Ju’fi al-Bukhori.
Beliau lahir di Bukhara, Khurasan pada 13 Syawal 194 H/ 21 Juli 810 M dan wafat
di Khartand dekat Samarkand pada 1 September 870 M saat berumur 60 tahun. Karya
beliau diantaranya, Shahih Bukhari, al-Adab wa al-Mufrad, at-Tarikh al-Ausath,
at-Tafsir al-Kabir, al-Musnad al-Kabir, Birr al-Walidain, dan lain-lain.
[28] Nama asli beliau adalah al-Imam Abul Husain
Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Nassaburi. Beliau lahir pada tahun 204 H
dan wafat pada 25 Rajab 261 H/ 5 Mei 875 M di Nassaburi dalam usia 55 tahun.
Karya beliau diantaranya, Sahih Muslim, al-Intifa’ bi Uhubis Siba’, Auladish Shahabah, al-Aqran, dan lain-lain.
[30]
Nama lengkap beliau adalah Umar bin Khattab bin Nafiel bin Abdul Uzza. Beliau
lahir pada 581 M dan wafat pada hari Rabu 25 Dzulhijjah 23 H/ 644 M. Beliau
dibunuh oleh Abu Lu’lu’ (fairuz) orang Persia. Beliau adalah khalifah kedua
dari keempat khulafaur rasyidin. Beliau memimpin pemerintahan pada 634-644 M.
beliau pula yang mengusulkan adanya kalender hijriyah dalam Islam.
[31] Muhammad Abu Zahrah, Prof., (Ushul Fiqh,
penerjemah Saefullah Ma’shum dkk), PT Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994, cet. I, h.314-315
Tidak ada komentar:
Posting Komentar