Translate

Minggu, 11 Oktober 2015

apakah sastra termasuk falsafah atau bukan?

         BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang  Masalah
Falsafah adalah induk dari segala ilmu pengetahuan. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Plato (427-347 SM), “Falsafah tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada”. Pelbagai ilmu pengetahuan beserta cabangnya lahir dan berkembang dari falsafah, seperti ilmu pasti, logika, fisika, metafisika, sastra, dan sebagainya. Oleh karena itu, falsafah dan sastra laksana dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan dari permukaan lainnya, bersifat komplementer.
Obyek pembahasan sastra dan falsafah pun sama, yakni manusia. Keduanya  merefleksikan eksistensi manusia. Hal ini dapat dilihat dalam mitologi dan karya sastra klasik, seperti Bhagawad Gita, Illias dari Homerus, Kisah Dewi Matahari dari Jepang dan lain-lain. Mereka adalah karya sastra klasik yang berisi ajaran-ajaran falsafah.

B.     Rumusan Masalah
Dari pembahasan di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1.    Apa pengertian sastra dan falsafah?
2.    Bagaimana pembagian ilmu pengetahuan menurut para failasuf ?
3.    Apakah sastra termasuk falsafah?













BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Sastra dan Falsafah
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, falsafah adalah anggapan, gagasan, dan sikap batin yang paling dasar dimiliki oleh orang atau masyarakat. Sedangkan, sastra adalah bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari); kesusasteraan; kitab suci Hindu; kitab ilmu pengetahuan; pustaka; tulisan.[1] Hal ini menggambarkan bahwa sastra adalah bagian dari bahasa.
Menurut Plato (427-347 SM), falsafah adalah pengetahuan tentang segala yang ada. Sedangkan, Aristoteles (384-322 SM) menjelaskan bahwa falsafah adalah penyelidikan sebab dan segala asas segala benda.  Al-Kindȋ(800-870) mengungkapkan, falsafah adalah pengetahuan benar mengenai hakikat segala yang ada sejauh mungkin bagi manusia. Al-Fȃrȃbȋ (872-870 M) berpendapat, falsafah adalah ilmu pengetahuan tentang segala alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.[2]
Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan, dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Sastra adalah cabang seni. [3]
B.     Pembagian Ilmu Pengetahuan
Falsafah adalah induk dari segala ilmu pengetahuan. Ia adalah dasar dari ilmu-ilmu pengetahuan yang ada, baik sosial maupun pasti. Oleh karena itu, J.G. Fichte menamai falsafah sebagai Wissenscaftslehre yang memiliki makna ajaran tentang ilmu pengetahuan.[4]
Pada abad pertengahan, ilmu-ilmu masih berada dalam satu kesatuan, yakni falsafah dan dirangkum sebagai totalitas seseorang. Albertus Magnus (w. 1198) dan Ibnu Rusyd (w.1280) masih menguasai seluruh kepandaian, keahlian, dan pengetahuan sezaman: ilmu alam, medis, falsafah dan agama.[5] Setelah itu, spesialisasi pengetahuan justru menjauhkan mereka dari induknya, yakni falsafah. Spesialisasi bukan berarti mencerai-beraikan, tetapi memperdalam ikhtiar untuk menghasilkan lebih banyak, untuk keperluan umum. Tidak mungkin spesialisasi yang satu lebih tinggi derajatnya dari yang lain dipandang dari sudut keperluan manusia.
Mulai dari zaman Aristoteles, falsafah melahirkan ilmu-ilmu lain, seperti logika, astronomi, alam dan lain-lain. Masing-masing ilmu mulai hidup sendiri-sendiri secara perlahan- lahan. Bahkan, ada yang lupa akan induknya. Setelah itu, muncul ilmu negara, sejarah, seni, agama, ilmu mencari tujuan hidup, dan lain-lain.[6]
Menurut al-Fȃrȃbȋ dalam Iḫshȃ’ Al-‘Ulŭm, ilmu pengetahuan diklasifikasikan ke dalam ilmu alam, bahasa, matematika, politik, yurisprudensi dan teologi. Baginya, falsafah mencakup matematika. Dan matematika bercabang pada aritmetika, geometri, astronomi, astrologi, musik, mekanika, dan seterusnya. Sementara itu, ilmu-ilmu alam terbagi menjadi delapan mengikuti tema fisika Aristoteles, yakni Physics, Heavens, Generations and Corruption, Meteorology, Book of Minerals, On Plants, Zoology, dan  On The Soul.
Ikhwȃn al-Shafȃ’ membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga kelompok, yaitu pengetahuan adab/sastra, pengetahuan syarȋ’ah, dan pengetahuan falsafah. Pengetahuan syarȋ’ah adalah pengetahuan nubuwwaḫ yang disampaikan oleh para nabi, sedangkan pengetahuan adab/sastra dan pengetahuan falsafah adalah hasil upaya jiwa manusia.[7]
Dr. Hossein Nasr meringkaskan klasifikasi ilmu pengetahuan menurut al-Fȃrȃbȋ dalam bukunya Science and Civilization in Islam sebagai berikut:
1.        Ilmu Bahasa, meliputi sintaksis, tata bahasa, lafal dan penuturan, dan puisi.
2.        Logika, meliputi pembagian, pendefinisian, dan penyusunan ide-ide sederhana.
3.        Ilmu-ilmu pendahuluan, meliputi ilmu hitung, ilmu ukur, ilmu tentang langit, musik, ilmu tentang bobot, dan ilmu membuat perkakas.
4.        Fisika (ilmu alam), meliputi metafisika dan fisika beserta spesialisasinya.[8]
 Sedangkan Ibnu Khaldŭn membagi ilmu ke dalam ilmu rasional, tradisional, dan linguistik. Cara ini pernah ditempuh oleh al-Fȃrȃbȋ dalam Iḫshȃ’ Al ‘Ulŭm. Bagian pertama, yang disebut ilmu alam mencakup ilmu-ilmu falsafah, seperti logika, fisika, dan matematika. Bagian kedua, meliputi ilmu-ilmu agama yang didasarkan pada al-Qurȃn dan ḫadȋs, seperti ilmu tafsir, dirayah hȃdis, fiqih, dan kalȃm. bagian ketiga, ilmu-ilmu bahasa mencakup filologi, tata bahasa, retorika, dan sastra(adab).[9]
Dalam Konferensi Sedunia II mengenai pendidikan Islam yang dilangsungkan di Islamabad pada bulan Maret 1980 telah menyetujui klasifikasi ilmu sebagai berikut :
a.         Pengetahuan tentang yang kekal-abadi, meliputi al-Qurȃn, sunnah rasul, sirat nabi, sahabat, dan tabi’ȋn, keesaan Allah, prinsip-prinsip ilmu hukum, bahasa Arab al-Qurȃn, dan ilmu-ilmu tambahan.
b.        Pengetahuan perolehan, meliputi seni imajinatif (arsitektur, sastra, dan bahasa), ilmu-ilmu intelektual (sosial, ekonomi, politik, sejarah, ekonomi, budaya, ilmu bumi, sosiologi, linguistik, antropologi, dan psikologi).
c.         Ilmu-ilmu fisika (teoritis), meliputi fisika, matematika, astronomi, biologi, kimia, statistik, dan ilmu-ilmu tentang angkasa luar.
d.        Ilmu-ilmu terapan, seperti kedokteran, sipil, mesin, pertanian, dan kehutanan.
e.         Ilmu-ilmu praktis, seperti ilmu administrasi bisnis, administrasi negara, ilmu perpustakaan, ilmu perpustakaan, dan ilmu ekonomi rumah tangga.[10]
Dilihat dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sastra adalah salah satu ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan berasal dari falsafah. Sebab, falsafah adalah dasar dari segala ilmu pengetahuan. Maka, sastra adalah bagian dari falsafah yang mengalami spesialisasi.
Falsafah bergerak maju dalam garis yang lurus, melainkan perkembangannya merupakan gerakan yang berayun, agak ke mari dan agak ke sana (Louis A. Katsoff, 2004 : 80). Hal ini merefleksikan bahwa falsafah itu mengalami perkembangan. Falsafah sangat mempunyai kontribusi pada tataran intelektual. Ia  adalah sebuah kebutuhan intelektual yang abadi( a perennial intellectual need) (Dr. Zaprulkhan, M. Si, 2014: 70).
Falsafah harus dikembangkan demi kemajuan falsafah dan disiplin ilmu-ilmu lainnya. Sebab,  Ia dapat menanamkan semangat kritis analitis yang diperlukan untuk melahirkan gagasan-gagasan baru. Apabila sebuah masyarakat mencampakkan kekayaan falsafahnya berarti ia telah membunuh intelektual yang dapat menyegarkan gagasan lama.
C.     Hubungan Sastra dengan Falsafah
Falsafah dan sastra memiliki beberapa persamaan dan perbedaan. Persamaanya antara lain sama-sama bermuara pada pengalaman menghayati kehidupan dan memiliki pijakan yang sama, yakni realitas. Dalam pemaparannya, falsafah menjelaskan secara eksplisit dan sistematis.
Bahasanya pun ilmiah, rasional, dan sistematis karena mengajukan pertanyaan radikal mengenai dasar pengalaman dan konteks maknanya.  Sedangkan,  sastra menjelaskannya secara konkret. Bahasanya pun mengalir, tidak terikat sebab sastra memaparkan dengan bercerita, berkisah lewat kata. Ada beberapa hubungan antara falsafah dan sastra, antara lain :
Pertama, seni adalah objek falsafah. Secara aksiologi, falsafah dibagi menjadi dua, yakni falsafah seni dan falsafah keindahan. Pada zaman dahulu, ahli sastra adalah seorang filsuf. Maka, pengaruh seorang filsuf itu meliputi segala buah pikiran ahli seni sastra. Hal ini telah menjadi perhatian falsafah sejak masa-masa permulaan, yaitu sejak falsafah mulai bermekaran di Yunani Kuno. Salah satu filsuf yang dikenal memiliki pandangan mapan mengenai seni adalah Aristoteles (384-322 SM).[11]
Dalam bukunya, Poetics, Aristoteles telah menggambarkan bahwa seni adalah imitasi dari realitas. Bagi Aristoteles, puisi adalah sesuatu yang lebih filosofis ketimbang sejarah karena pernyataan-pernyataan puisi adalah tentang alam semesta, sedangkan sejarah adalah tentang benda-benda singular. Fungsi sastrawan bukanlah membicarakan sesuatu yang telah terjadi, melainkan sesuatu yang mungkin terjadi, yakni membicarakan sesuatu yang mungkin (probable) sebagai yang mungkin (probable) atau niscaya (necessary).
 Aristoteles membagi kebijaksanaan (wisdom, hikmah) menjadi tiga: theoria (ilmu teoritis), praxis (ilmu praktis)dan poiesis (seni). Dalam bukunya, physics, Aristoteles membagi seni menjadi:
(a)    Seni yang bertujuan untuk melengkapi fungsi alam semesta, seperti menciptakan alat-alat atau teknologi-teknologi, karena alam itu sendiri memberikan manusia hanya dua tangan.
(b)   Seni yang bertujuan meng-“imitasi” alam semesta. Pandangan kedua ini mirip seperti pandangan Plato menyatakan bahwa dalam seni alam imajiner diciptakan yang merupakan imitasi alam real. Inilah yang dalam bahasa inggris diistilahkan dengan Fine Art. Puisi termasuk di dalamnya.
Dengan pandangannya ini, Aristoteles dan Plato (427-347 SM) memiliki pandangan khas mengenai puisi dan seni pada umumnya, yakni bahwa poiesis menduduki posisi yang lebih rendah ketimbang theoria, karena bagi dua filsuf itu poiesis merupakan imitasi dari realitas, sedangkan theoria adalah representasi persis dari realitas itu sendiriDengan kata lain, puisi dan semua bentuk kesenian lain kurang asli daripada ilmu-ilmu teoretis.
              Banyak filsuf yang digolongkan dalam ahli sastra dan penyair besar, karena karangan-karangan mereka tidak hanya membawa pikiran-pikiran yang dalam dan tinggi, juga memiliki bahasa yang indah. Failasuf yang masyhur karena keindahan bahasanya  antara lain : Herakleitos, Parmenides, Empedokles, Plato, Giordano Bruno, Schelling dan Nietzsche. Pada abad ke-20, ahli seni sastra mendapat pengaruh dari aliran pikiran-failasuf besar.[12]
              Kedua, falsafah juga menjadi inspirasi bagi para failasuf untuk membuat karya-karya mereka, seperti  Syihȃb al-Dȋn Suhrawardȋ dan Ibn Miskawaih. Syihȃb al-Dȋn Suhrawardȋ mempunyai corak sastra dalam karya falsafahnya. Ia banyak menggunakan kisah perumpamaan dalam penguraian ajarannya. Sedangkan karya Ibnu Miskawaih  mayoritas berbicara tentang ajaran jiwa dan etika. Contohnya : al-Musthafa (syair-syair pilihan), Jȃwȋdȃn Khirad (kumpulan ungkapan bijak), Uns al-Farid (kumpulan anekdot, syair, peribahasa, dan kata-kata mutiara) dan lain-lain.[13] 
Ketiga, ragam pemikiran failasuf pos-modernisme. Pelbagai pemikiran bermula dalam suatu fase historis dalam falsafah yang disebut sebagai “language turn”, titik balik kepada bahasa. Pada fase sejarah ini (yang tetap berlangsung hingga sekarang), falsafah tiba-tiba menyelidiki bahasa, tapi bukan untuk memahami bahasa itu sendiri, melainkan untuk memahami objek abadi falsafah, yakni alam semesta dan kehidupan manusia.
Dalam fenomena “titik balik kepada bahasa ini”, falsafah terbelah kepada dua kecenderungan, persis seperti dua watak bahasa. Di satu sisi, terdapat beberapa falsafah yang mempertahankan watak logis dari bahasa, yakni kecenderungan bahasa untuk merepresentasikan realitas di luar dirinya. Yang dilakukan falsafah adalah klarifikasi bahasa, entah melalui verifikasi, atom bahasa, teori cermin, atau lainnya(Asep Ahmad Hidayat, 2006: 73). Positivisme logis dan falsafah analitis adalah dua  aliran utama dalam kecenderungan falsafah ini.
Di sisi lain, terdapat beberapa failasuf lain yang memilih untuk menyelidiki bahasa yang cenderung ‘transformatif’ sifatnya. Artinya, selain berfungsi untuk merepresentasikan realitas, bahasa juga fungsi lain yang tak kalah pentingnya ketimbang fungsi tadi, yaitu fungsi menciptakan realitas. Itulah yang dimaksud fungsi transformatif bahasa.
Hubungan falsafah dan sastra ibarat dua sisi mata uang yang bersifat komplementer. Falsafah tanpa sastra akan kehilangan salah satu corongnya dalam menyentuh kehidupan masyarakat. Apabila falsafah sudah tidak lagi bisa menyentuh masyarakat, maka falsafah akan kehilangan eksistensinya. Demikian pula dengan sastra. Sastra tanpa muatan falsafah kehidupan akan kehilangan kesakralannya.


BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.      Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, falsafah adalah anggapan, gagasan, dan sikap batin yang paling dasar dimiliki oleh orang atau masyarakat. Sedangkan, sastra adalah bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari); kesusasteraan; kitab suci Hindu; kitab ilmu pengetahuan; pustaka; tulisan.
2.      Ibnu Khaldŭn membagi ilmu ke dalam ilmu rasional, tradisional, dan linguistik. Bagian pertama, yang disebut ilmu alam mencakup ilmu-ilmu falsafah, seperti logika, fisika, dan matematika. Bagian kedua, meliputi ilmu-ilmu agama yang didasarkan pada al-Qurȃn dan hȃdis, seperti ilmu tafsir, dirayah hȃdis, fiqih, dan kalȃm. bagian ketiga, ilmu-ilmu bahasa mencakup filologi, tata bahasa, retorika, dan sastra(adab).
3.      Hubungan sastra dan falsafah antara lain : seni adalah objek sastra, sastra menjadi salah satu sumber inspirasi bagi failasuf muslim, dan menjadi ragam pemikiran failasuf pos-modern.Hal ini menunjukkan bahwa sastra adalah bagian dari falsafah. Sebab, falsafah adalah induk dari segala ilmu pengetahuan. Dan sastra adalah salah satu cabang ilmu dalam ilmu pengetahuan.

B.  Penutup
Demikian makalah ini saya persembahkan, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Apabila ada kekeliruan dalam makalah ini baik berupa tulisan maupun isi, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Mohon kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Karena kesempurnaan hanyalah milik Sang Khaliq.












DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Dahlan, Prof. Dr. Pemikiran Falsafi dalam Islam. (Jakarta :  Djambatan,  2003)
Bertens, K. Dr. Ringkasan Sejarah Filsafat.  (Jakarta : Yayasan Kanisius, 1976). Cet. I
C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam , terj. dari Philosophy and Science in the Islamic World. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,  1989). Terj. oleh Hasan Basari. Cet. I
Ensiklopedi Tematis Falsafah Islam, terj. dari History of Islamic Philosophy. (Bandung: Mizan, 2003).  Terj. oleh Tim Penerjemah Mizan Cet. I
Fakhry, Majid Sejarah Filsafat Islam: Sebuah  Peta Kronologis, terj. dari A Short Introduction to Islamic Philosophy, Theology, and Mysticism. (Bandung: Mizan, 2001). Terj. oleh  Zaimul Am. cet. I
Hanifah, Abu, Dr. Rintisan Filsafat I. (Jakarta: Balai Pustaka, 1950). Cet. II
Hidayat, Asep Ahmad. Filsafat Bahasa. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006). Cet. I
Kamus Besar Bahasa Indonesia  Pusat  Bahasa  Edisi IV. (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama,  2008)
Katsoff,  Louis O. Pengantar Filsafat terj. dari Elements of Philosophy. (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2004). Terj. oleh Soerjono Soemargono, Dr. Cet. IX
Salam, Burhanuddin Drs. Pengantar Filsafat. (Jakarta : Bumi Aksara,  2003). Cet.  XVIII
Supriyadi, Dedi, M.Ag. Pengantar Falsafah Islam. (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013). Cet. I
Wicaksana, Andri, M.Pd.  Menulis Kreatif  Sastra. (Jakarta : Garudhawaca, 2014). Cet. I
Zaprulkhan, Dr. M. S.I. Filsafat Islam: Sebuah Kajian Tematik. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014). Cet. I



[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia  Pusat  Bahasa  Edisi IV, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama,  2008),  hlm. 387-1230
[2] Burhanuddin Salam, Drs, Pengantar Filsafat, (Jakarta : Bumi Aksara,  2003), cet.  XVIII,  hlm. 67-68
[3] Andri Wicaksana, M.Pd.,  Menulis Kreatif  Sastra, (Jakarta : Garudhawaca, 2014), cet. I, hlm. 70
[4] K. Bertens, Dr, Ringkasan Sejarah Filsafat,  (Jakarta : Yayasan Kanisius, 1976), cet. I, hlm. 63

[6] Abu Hanifah, Dr., Rintisan Filsafat I, (Jakarta : Balai Pustaka,  1950), cet. 1, hlm. 46
[7] Abdul Aziz Dahlan, Prof. Dr., Pemikiran Falsafi dalam Islam, (Jakarta :  Djambatan,  2003), hlm. 81
[8]  C.A. Qadir, Falsafah dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam , terj. dari Philosophy and Science in the Islamic World  oleh Hasan Basari, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,  1989), cet. I, hlm. 114-115
[9] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah  Peta Kronologis, terj. dari A Short Introduction to Islamic Philosophy, Theology, and Mysticism oleh  Zaimul Am, (Bandung: Mizan, 2001), cet. I, hlm. 123-124
[10]Ibid.,  C.A.Qadir., hlm. 116-117
[11] Abu Hanifah, Dr., ibid, h. 49
[12] ibid, h. 49-50
[13] Dedi Supriyadi, M. Ag., Pengantar Filsafat Islam, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2013), cet. I, hlm.112-180

Tidak ada komentar:

Posting Komentar