BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Falsafah adalah induk dari segala ilmu
pengetahuan. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Plato (427-347
SM), “Falsafah tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada”. Pelbagai
ilmu pengetahuan beserta cabangnya lahir dan berkembang dari falsafah, seperti
ilmu pasti, logika, fisika, metafisika, sastra, dan sebagainya. Oleh karena
itu, falsafah dan sastra laksana dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan
dari permukaan lainnya, bersifat komplementer.
Obyek pembahasan sastra dan falsafah pun
sama, yakni manusia. Keduanya
merefleksikan eksistensi manusia. Hal ini dapat dilihat dalam mitologi
dan karya sastra klasik, seperti Bhagawad Gita, Illias dari Homerus, Kisah Dewi
Matahari dari Jepang dan lain-lain. Mereka adalah karya sastra klasik yang
berisi ajaran-ajaran falsafah.
B. Rumusan Masalah
Dari pembahasan di atas, maka dapat ditarik
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian sastra dan falsafah?
2. Bagaimana pembagian ilmu pengetahuan menurut para failasuf ?
3. Apakah sastra termasuk falsafah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sastra dan Falsafah
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, falsafah adalah anggapan, gagasan,
dan sikap batin yang paling dasar dimiliki oleh orang atau masyarakat.
Sedangkan, sastra adalah bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam
kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari); kesusasteraan; kitab suci Hindu; kitab
ilmu pengetahuan; pustaka; tulisan.[1]
Hal ini menggambarkan bahwa sastra adalah bagian dari bahasa.
Menurut Plato (427-347 SM), falsafah adalah pengetahuan tentang segala
yang ada. Sedangkan, Aristoteles (384-322 SM) menjelaskan bahwa falsafah adalah
penyelidikan sebab dan segala asas segala benda. Al-Kindȋ(800-870) mengungkapkan, falsafah
adalah pengetahuan benar mengenai hakikat segala yang ada sejauh mungkin bagi
manusia. Al-Fȃrȃbȋ (872-870 M) berpendapat, falsafah adalah ilmu pengetahuan
tentang segala alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.[2]
Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman,
pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan, dalam suatu bentuk gambaran
konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Sastra adalah cabang
seni. [3]
B. Pembagian Ilmu Pengetahuan
Falsafah adalah induk dari segala ilmu pengetahuan. Ia adalah dasar dari
ilmu-ilmu pengetahuan yang ada, baik sosial maupun pasti. Oleh karena itu, J.G.
Fichte menamai falsafah sebagai Wissenscaftslehre yang memiliki
makna ajaran tentang ilmu pengetahuan.[4]
Pada abad pertengahan, ilmu-ilmu masih berada dalam satu kesatuan, yakni
falsafah dan dirangkum sebagai totalitas seseorang. Albertus Magnus (w. 1198)
dan Ibnu Rusyd (w.1280) masih menguasai seluruh kepandaian, keahlian, dan
pengetahuan sezaman: ilmu alam, medis, falsafah dan agama.[5]
Setelah itu, spesialisasi pengetahuan justru menjauhkan mereka dari induknya,
yakni falsafah. Spesialisasi bukan berarti mencerai-beraikan, tetapi
memperdalam ikhtiar untuk menghasilkan lebih banyak, untuk keperluan umum.
Tidak mungkin spesialisasi yang satu lebih tinggi derajatnya dari yang lain
dipandang dari sudut keperluan manusia.
Mulai dari zaman Aristoteles, falsafah melahirkan ilmu-ilmu lain, seperti
logika, astronomi, alam dan lain-lain. Masing-masing ilmu mulai hidup sendiri-sendiri
secara perlahan- lahan. Bahkan, ada yang lupa akan induknya. Setelah itu,
muncul ilmu negara, sejarah, seni, agama, ilmu mencari tujuan hidup, dan
lain-lain.[6]
Menurut al-Fȃrȃbȋ dalam Iḫshȃ’ Al-‘Ulŭm, ilmu pengetahuan
diklasifikasikan ke dalam ilmu alam, bahasa, matematika, politik, yurisprudensi
dan teologi. Baginya, falsafah mencakup matematika. Dan matematika bercabang
pada aritmetika, geometri, astronomi, astrologi, musik, mekanika, dan
seterusnya. Sementara
itu, ilmu-ilmu alam terbagi menjadi delapan mengikuti tema fisika Aristoteles,
yakni Physics, Heavens, Generations and Corruption, Meteorology, Book of
Minerals, On Plants, Zoology, dan On The Soul.
Ikhwȃn al-Shafȃ’ membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga kelompok, yaitu
pengetahuan adab/sastra, pengetahuan syarȋ’ah, dan pengetahuan falsafah.
Pengetahuan syarȋ’ah adalah pengetahuan nubuwwaḫ yang disampaikan oleh
para nabi, sedangkan pengetahuan adab/sastra dan pengetahuan falsafah adalah
hasil upaya jiwa manusia.[7]
Dr. Hossein Nasr meringkaskan klasifikasi ilmu pengetahuan menurut
al-Fȃrȃbȋ dalam bukunya Science and Civilization in Islam sebagai
berikut:
1.
Ilmu Bahasa, meliputi sintaksis, tata bahasa,
lafal dan penuturan, dan puisi.
2.
Logika, meliputi pembagian, pendefinisian, dan
penyusunan ide-ide sederhana.
3.
Ilmu-ilmu pendahuluan, meliputi ilmu hitung, ilmu
ukur, ilmu tentang langit, musik, ilmu tentang bobot, dan ilmu membuat
perkakas.
4.
Fisika (ilmu alam), meliputi metafisika dan fisika
beserta spesialisasinya.[8]
Sedangkan Ibnu Khaldŭn membagi
ilmu ke dalam ilmu rasional, tradisional, dan linguistik. Cara ini pernah
ditempuh oleh al-Fȃrȃbȋ dalam Iḫshȃ’ Al ‘Ulŭm. Bagian pertama, yang
disebut ilmu alam mencakup ilmu-ilmu falsafah, seperti logika, fisika, dan
matematika. Bagian kedua, meliputi ilmu-ilmu agama yang didasarkan pada al-Qurȃn
dan ḫadȋs, seperti ilmu tafsir, dirayah hȃdis, fiqih, dan kalȃm. bagian ketiga,
ilmu-ilmu bahasa mencakup filologi, tata bahasa, retorika, dan sastra(adab).[9]
Dalam Konferensi Sedunia II mengenai pendidikan Islam yang dilangsungkan
di Islamabad pada bulan Maret 1980 telah menyetujui klasifikasi ilmu sebagai
berikut :
a.
Pengetahuan tentang yang kekal-abadi, meliputi al-Qurȃn,
sunnah rasul, sirat nabi, sahabat, dan tabi’ȋn, keesaan Allah, prinsip-prinsip
ilmu hukum, bahasa Arab al-Qurȃn, dan ilmu-ilmu tambahan.
b.
Pengetahuan perolehan, meliputi seni imajinatif (arsitektur,
sastra, dan bahasa), ilmu-ilmu intelektual (sosial, ekonomi, politik, sejarah,
ekonomi, budaya, ilmu bumi, sosiologi, linguistik, antropologi, dan psikologi).
c.
Ilmu-ilmu fisika (teoritis), meliputi fisika,
matematika, astronomi, biologi, kimia, statistik, dan ilmu-ilmu tentang angkasa
luar.
d.
Ilmu-ilmu terapan, seperti kedokteran, sipil,
mesin, pertanian, dan kehutanan.
e.
Ilmu-ilmu praktis, seperti ilmu administrasi bisnis,
administrasi negara, ilmu perpustakaan, ilmu perpustakaan, dan ilmu ekonomi rumah
tangga.[10]
Dilihat dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sastra adalah salah
satu ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan berasal dari falsafah. Sebab,
falsafah adalah dasar dari segala ilmu pengetahuan. Maka, sastra adalah bagian
dari falsafah yang mengalami spesialisasi.
Falsafah bergerak maju dalam garis yang lurus, melainkan perkembangannya
merupakan gerakan yang berayun, agak ke mari dan agak ke sana (Louis A.
Katsoff, 2004 : 80). Hal ini merefleksikan bahwa falsafah itu mengalami perkembangan.
Falsafah sangat mempunyai kontribusi pada tataran intelektual. Ia
adalah sebuah kebutuhan intelektual yang abadi( a perennial
intellectual need) (Dr. Zaprulkhan, M. Si, 2014: 70).
Falsafah harus dikembangkan demi kemajuan falsafah dan disiplin
ilmu-ilmu lainnya. Sebab, Ia dapat
menanamkan semangat kritis analitis yang diperlukan untuk melahirkan
gagasan-gagasan baru. Apabila sebuah masyarakat mencampakkan kekayaan
falsafahnya berarti ia telah membunuh intelektual yang dapat menyegarkan gagasan
lama.
C. Hubungan Sastra dengan Falsafah
Falsafah dan sastra memiliki beberapa persamaan dan perbedaan. Persamaanya
antara lain sama-sama bermuara pada pengalaman menghayati kehidupan dan
memiliki pijakan yang sama, yakni realitas. Dalam pemaparannya, falsafah
menjelaskan secara eksplisit dan sistematis.
Bahasanya pun ilmiah, rasional, dan sistematis karena mengajukan pertanyaan
radikal mengenai dasar pengalaman dan konteks maknanya. Sedangkan,
sastra menjelaskannya secara konkret. Bahasanya pun mengalir, tidak
terikat sebab sastra memaparkan dengan bercerita, berkisah lewat kata. Ada
beberapa hubungan antara falsafah dan sastra, antara lain :
Pertama, seni adalah objek falsafah. Secara aksiologi, falsafah dibagi
menjadi dua, yakni falsafah seni dan falsafah keindahan. Pada zaman dahulu,
ahli sastra adalah seorang filsuf. Maka, pengaruh seorang filsuf itu meliputi
segala buah pikiran ahli seni sastra. Hal ini telah menjadi
perhatian falsafah sejak masa-masa permulaan, yaitu sejak falsafah mulai
bermekaran di Yunani Kuno. Salah satu filsuf yang dikenal memiliki pandangan
mapan mengenai seni adalah Aristoteles (384-322 SM).[11]
Dalam bukunya, Poetics, Aristoteles
telah menggambarkan bahwa seni adalah imitasi dari realitas. Bagi Aristoteles,
puisi adalah sesuatu yang lebih filosofis ketimbang sejarah karena
pernyataan-pernyataan puisi adalah tentang alam semesta, sedangkan sejarah
adalah tentang benda-benda singular. Fungsi sastrawan bukanlah membicarakan
sesuatu yang telah terjadi, melainkan sesuatu yang mungkin terjadi,
yakni membicarakan sesuatu yang mungkin (probable) sebagai
yang mungkin (probable) atau niscaya (necessary).
Aristoteles membagi kebijaksanaan (wisdom, hikmah)
menjadi tiga: theoria (ilmu teoritis), praxis (ilmu
praktis), dan poiesis (seni). Dalam bukunya, physics, Aristoteles
membagi seni menjadi:
(a) Seni
yang bertujuan untuk melengkapi fungsi alam semesta, seperti menciptakan
alat-alat atau teknologi-teknologi, karena alam itu sendiri memberikan manusia
hanya dua tangan.
(b) Seni
yang bertujuan meng-“imitasi” alam semesta. Pandangan kedua ini mirip seperti
pandangan Plato menyatakan bahwa dalam seni alam imajiner diciptakan yang
merupakan imitasi alam real. Inilah yang dalam bahasa inggris
diistilahkan dengan Fine Art. Puisi termasuk di dalamnya.
Dengan pandangannya ini,
Aristoteles dan Plato (427-347 SM) memiliki pandangan khas mengenai puisi dan
seni pada umumnya, yakni bahwa poiesis menduduki posisi yang
lebih rendah ketimbang theoria, karena bagi dua filsuf
itu poiesis merupakan imitasi dari realitas, sedangkan theoria adalah
representasi persis dari realitas itu sendiri. Dengan kata lain,
puisi dan semua bentuk kesenian lain kurang asli daripada ilmu-ilmu teoretis.
Banyak filsuf yang digolongkan
dalam ahli sastra dan penyair besar, karena karangan-karangan mereka tidak
hanya membawa pikiran-pikiran yang dalam dan tinggi, juga memiliki bahasa yang
indah. Failasuf yang masyhur karena keindahan bahasanya antara lain : Herakleitos, Parmenides,
Empedokles, Plato, Giordano Bruno, Schelling dan Nietzsche. Pada abad ke-20,
ahli seni sastra mendapat pengaruh dari aliran pikiran-failasuf besar.[12]
Kedua, falsafah juga menjadi
inspirasi bagi para failasuf untuk membuat karya-karya mereka, seperti Syihȃb al-Dȋn Suhrawardȋ dan Ibn Miskawaih. Syihȃb
al-Dȋn Suhrawardȋ mempunyai corak sastra dalam karya falsafahnya. Ia banyak
menggunakan kisah perumpamaan dalam penguraian ajarannya. Sedangkan karya Ibnu
Miskawaih mayoritas berbicara tentang
ajaran jiwa dan etika. Contohnya : al-Musthafa (syair-syair pilihan),
Jȃwȋdȃn Khirad (kumpulan ungkapan bijak), Uns al-Farid (kumpulan
anekdot, syair, peribahasa, dan kata-kata mutiara) dan lain-lain.[13]
Ketiga, ragam pemikiran failasuf pos-modernisme. Pelbagai pemikiran bermula
dalam suatu fase historis dalam falsafah yang disebut sebagai “language turn”,
titik balik kepada bahasa. Pada fase sejarah ini (yang tetap berlangsung hingga
sekarang), falsafah tiba-tiba menyelidiki bahasa, tapi bukan untuk memahami bahasa
itu sendiri, melainkan untuk memahami objek abadi falsafah, yakni alam semesta
dan kehidupan manusia.
Dalam fenomena “titik balik kepada bahasa ini”, falsafah terbelah kepada
dua kecenderungan, persis seperti dua watak bahasa. Di satu sisi, terdapat beberapa
falsafah yang mempertahankan watak logis dari bahasa, yakni kecenderungan
bahasa untuk merepresentasikan realitas di luar dirinya. Yang dilakukan
falsafah adalah klarifikasi bahasa, entah melalui verifikasi, atom bahasa,
teori cermin, atau lainnya(Asep Ahmad Hidayat, 2006: 73). Positivisme logis dan falsafah analitis
adalah dua aliran utama dalam kecenderungan falsafah ini.
Di
sisi lain, terdapat beberapa failasuf lain yang memilih untuk menyelidiki
bahasa yang cenderung ‘transformatif’ sifatnya. Artinya, selain berfungsi untuk
merepresentasikan realitas, bahasa juga fungsi lain yang tak kalah pentingnya
ketimbang fungsi tadi, yaitu fungsi menciptakan realitas. Itulah yang dimaksud
fungsi transformatif bahasa.
Hubungan falsafah dan sastra ibarat dua sisi mata uang
yang bersifat komplementer. Falsafah tanpa sastra akan kehilangan salah satu
corongnya dalam menyentuh kehidupan masyarakat. Apabila falsafah sudah tidak
lagi bisa menyentuh masyarakat, maka falsafah akan kehilangan eksistensinya. Demikian pula dengan sastra. Sastra tanpa
muatan falsafah kehidupan akan kehilangan kesakralannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, falsafah
adalah anggapan, gagasan, dan sikap batin yang paling dasar dimiliki oleh orang
atau masyarakat. Sedangkan, sastra adalah bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang
dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari); kesusasteraan; kitab suci
Hindu; kitab ilmu pengetahuan; pustaka; tulisan.
2.
Ibnu Khaldŭn membagi ilmu ke dalam ilmu
rasional, tradisional, dan linguistik. Bagian pertama, yang disebut ilmu alam
mencakup ilmu-ilmu falsafah, seperti logika, fisika, dan matematika. Bagian
kedua, meliputi ilmu-ilmu agama yang didasarkan pada al-Qurȃn dan hȃdis,
seperti ilmu tafsir, dirayah hȃdis, fiqih, dan kalȃm. bagian ketiga, ilmu-ilmu
bahasa mencakup filologi, tata bahasa, retorika, dan sastra(adab).
3.
Hubungan sastra dan falsafah antara lain :
seni adalah objek sastra, sastra menjadi salah satu sumber inspirasi bagi
failasuf muslim, dan menjadi ragam pemikiran failasuf pos-modern.Hal ini
menunjukkan bahwa sastra adalah bagian dari falsafah. Sebab, falsafah adalah
induk dari segala ilmu pengetahuan. Dan sastra adalah salah satu cabang ilmu
dalam ilmu pengetahuan.
B. Penutup
Demikian makalah ini saya persembahkan, semoga dapat
bermanfaat bagi kita semua. Apabila ada kekeliruan dalam makalah ini baik
berupa tulisan maupun isi, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Mohon kritik
dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Karena kesempurnaan hanyalah milik
Sang Khaliq.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Dahlan, Prof. Dr. Pemikiran Falsafi dalam Islam.
(Jakarta : Djambatan, 2003)
Bertens,
K. Dr. Ringkasan Sejarah Filsafat.
(Jakarta : Yayasan Kanisius, 1976). Cet. I
C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam , terj. dari Philosophy
and Science in the Islamic World. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1989). Terj. oleh Hasan Basari. Cet. I
Ensiklopedi Tematis Falsafah Islam, terj. dari History
of Islamic Philosophy. (Bandung: Mizan, 2003). Terj. oleh Tim Penerjemah Mizan Cet. I
Fakhry,
Majid Sejarah Filsafat Islam: Sebuah
Peta Kronologis, terj. dari A Short Introduction to Islamic
Philosophy, Theology, and Mysticism. (Bandung: Mizan, 2001). Terj.
oleh Zaimul Am. cet. I
Hanifah, Abu, Dr. Rintisan Filsafat I. (Jakarta: Balai
Pustaka, 1950). Cet. II
Hidayat, Asep Ahmad. Filsafat Bahasa. (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2006). Cet. I
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Pusat Bahasa Edisi IV. (Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama, 2008)
Katsoff, Louis O. Pengantar Filsafat terj. dari
Elements of Philosophy. (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2004).
Terj. oleh Soerjono Soemargono, Dr. Cet. IX
Salam, Burhanuddin Drs. Pengantar Filsafat. (Jakarta : Bumi
Aksara, 2003). Cet. XVIII
Supriyadi, Dedi, M.Ag. Pengantar Falsafah Islam. (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2013). Cet. I
Wicaksana,
Andri, M.Pd. Menulis Kreatif Sastra. (Jakarta : Garudhawaca,
2014). Cet. I
Zaprulkhan, Dr. M. S.I. Filsafat
Islam: Sebuah Kajian Tematik. (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2014). Cet. I
[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa Edisi IV, (Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 387-1230
[2] Burhanuddin Salam, Drs, Pengantar Filsafat,
(Jakarta : Bumi Aksara, 2003), cet.
XVIII,
hlm. 67-68
[4] K. Bertens, Dr, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Jakarta : Yayasan Kanisius, 1976), cet.
I, hlm. 63
[6] Abu Hanifah, Dr., Rintisan Filsafat I, (Jakarta :
Balai Pustaka, 1950), cet. 1, hlm. 46
[7] Abdul Aziz Dahlan, Prof. Dr., Pemikiran
Falsafi dalam Islam, (Jakarta :
Djambatan, 2003), hlm. 81
[8] C.A. Qadir, Falsafah dan Ilmu Pengetahuan
dalam Islam , terj. dari Philosophy and Science in the Islamic World oleh Hasan Basari, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1989), cet. I, hlm. 114-115
[9] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam:
Sebuah Peta Kronologis, terj. dari A
Short Introduction to Islamic Philosophy, Theology, and Mysticism oleh Zaimul Am, (Bandung: Mizan, 2001), cet. I,
hlm. 123-124
[11]
Abu Hanifah, Dr., ibid, h. 49
[12] ibid, h. 49-50
[13] Dedi Supriyadi, M. Ag., Pengantar Filsafat
Islam, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2013), cet. I, hlm.112-180
Tidak ada komentar:
Posting Komentar