Translate

Selasa, 22 September 2015

Taqsim/ Pembagian/ Klsifikasi

Taqsim/ Pembagian/ Klasifikasi
A.    Pengertian Taqsim
Klasifikasi adalah pemecahan suatu kelas tertentu ke dalam kelas-kelas bawahan berdasarkan ciri-ciri tertentu khas yang dimiliki oleh anggota-anggota kelas itu. Pembahasan tentang klasifikasi baru ditambahkan oleh Porphyrius (murid Aristoteles)  yang hidup tahun 233-306 M terhadap Organon yang diberi nama Eisagoge.
B.     Pembagian Taqsim
Porphyrius membagi segala sesuatu ke dalam lima lingkungan, yakni jenis )جنس, golongan ظ نوعspecies), pemisah ( فصل/differentia), sifat khusus (  خاصpropria), dan sifat umum ( عرض عامaccidental).  Tiga diantaranya membahas tentang dzat ( الذاتى)  dan dua diantaranya mengenai sifat( العرض).  Berikut penjelasan tentang dzati dan sifat :
1.      Substansi (Dzati) adalah term yang menunjuk pada hakikat, baik menjadi unsur bagian atau padanan, seperti term “hewan” dan “berpikir” dalam kaitannya dengan “manusia”, termasuk term manusia itu sendiri. “Hewan” adalah unsur bagian dari substansi “manusia”, sama halnya dengan term “berpikir”, dan manusia sama dengan substansi.
2.      Aksiden ('Irdli) adalah unsur pelengkap pada substansi (berada di luar substansi), seperti term “tertawa” dan “putih” dalam hubungannya dengan hakikat manusia.
Sedangkan, lima lingkungan yang ditambahkan oleh Porphyrius antara lain:

1.    Kata Na’u berasal dari bahasa Arab yang berarti: ragam, jenis, macam dan sebagainya. Maksudnya adalah ragamnya sesuatu hakikat, yang berkumpul pada yang lebih umum. Spesies (Nau'), term yang menyatakan individu-individu yang esensinya bersesuaian. Dengan kata lain, spesies adalah term yang membentuk genus, seperti term manusia yang mencakup orang yang bernama Ahmad, Husein, Nuruddin, Ali, dll. Individu-individu tersebut sesuai dengan esensinya, namun juga berada di bawah cakupan term yang lebih umum, yaitu hewan.Genus adalah sub-kelas dari suatu kelas yang lebih besar (genus). Menurut Sayyid Taftazani dalam tulisannya, Matan Tahdzib al-Manthiq member pengertian:
هُوَ اَلْمَقُوْلُ عَلَى الْكَثِيْرَةِ الْمُتَفِقَةِ اَلْحَقِيْقَةِ فِى جَوَابِ مَاهُوَ
Ungkapan kata untuk menunjuk sejumlah objek yang hakikatnya sama dalam menjawab pertanyaan “apa itu?”
Contohnya: “apa Rasid itu?” jawabnya: ia adalah manusia. Kata manusia disebut al-Na’u.
Na’u dibagi menjadi dua:
a.       Na’u haqiqi

هُوَ اَلْكُلِّيُ الَّذِي انْدَرَجَ تَحْتَ الْجِنْسِ وَافْرَادُهُ  مُتَفِقَةٌ فِي الْحَقِيْقَةِ
Lafadz kulli yang ada di bawah cakupan jenis dan bukti individu yang dituju sama dalam hakikatnya. Contohnya : manusia ; sebab afrad-nya sama dalam hakikatnya; ia ada di bawah cakupannya kata “hewan”. Dalam lafadz kulli manusia ada banyak hakikat yang sama, seperti Ali, Hasan, Husein, Muhammad, dan lain-lain.
b.      Na’u idlafi
هُوَ اَلْكُلِّيُ الَّذِى اِنْدَرَجَ تَحْتَ الْجِنْسِ سَوَآءٌ اَكَانَتْ افْرَدُهُ  مُتَفِقَةً اَمْ لاَ
Lafadz kulli yang ada cakupan jenis, baik individu yang dituju itu sama dalam hakikatnya maupun tidak sama dalam hakikatnya. Na’u yang jenisnya dibagi sama, seperti tinggi, rendah pertengahan, atau na’u yang memiliki sifat tambahan yang tidak pasti yang membedakan dengan na’u haqiqi. Lafadz kulli dibawah jins. Seperti: lafadz hewan ketika ia berada di bawah cakupan “nami”. Begitu pula “nami” akan menjadi “na’u idlafi” ketika berada di bawah cakupan “jisim”.  Na’u idlafi dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
a)      Spesies Dekat (Nau' Safil), spesies yang di bawahnya hanya memiliki unsur-unsur bagian, seperti term manusia, yakni Muhammad, Ali.
b)        Spesies Sedang (Nau’ Mutawassit), spesies yang ada di antara spesies yang lain, seperti term hewan dan term tumbuhan.
c)         Spesies Jauh (Nau’ ‘Alin), spesies yang di atasnya hanya ada genus jauh (‘alin), seperti materi yang di atasnya hanya ada substansi. Contoh: jisim.
2.   Genus (Jins), term yang menyatakan esensi individu yang berbeda-beda, atau disebut juga term yang dibentuk oleh term-term yang lebih spesifik, seperti term “hewan” yang mencakup manusia dan jenis hewan lainnya, semacam sapi, kuda, anjing, dan lain-lain yang lebih spesifik dari term hewan.
Sedangkan menurut , jins adalah
هُوَ اَلْكُلِّيُ الصَّادِقُ عَلَى اَفْرَدش حَقَائِقَ مُحْتَلِفَةٍ اَوْ هُوَ الْكُلِّيُ يَنْدَرِجُ تَحْتَهُ  كُلِّيَاتٌ اَخَاصُّ مِنْهُ
Lafadz kulli yang mencakup individu-individu yang hakikatnya berbeda-beda atau lafadz kulli yang dibawahnya terdapat lafadz kulli lain yang lebih khusus. Contohnya, lafadz hewan. Lafadz tersebut dibawahnya ada manusia, sapi, kambing, gajah, harimau, dan lain-lain. Genus dibagi menjadi tiga macam:
1)      Genus Dekat (Jins Safil/Qarib), genus yang terbawah dari jajaran genus, seperti jenis hewan. Sebab di atas jenis hewan hanya terdapat tumbuhan, materi, dan substansi. Di bawah jenis kemudian terdapat bermacam-macam spesies, seperti manusia, kucing, singa, dan lain-lain.
2)   Genus Sedang (Jins Mutawassit), genus yang berada di antara jenis-jenis lainnya, seperti jenis tumbuhan kaitannya dengan hewan dan materi.
3)   Genus Jauh (Jins Ba’iid), genus teratas dan di bawahnya terdapat jenis-jenis lain, seperti substansi. Substansi mencakup seluruh yang ada karena itu membawahi seluruh jenis baik tumbuhan, materi, maupun hewan.
3.    Differensia (Fashal),
صِفَةُ اَوْ مَجْمُوْعَةُ صِفَاتٍ ذَاتِيَةٍ تَمَيَّزُ بِهَا اَفْرَدُ حَقِيْقَةٍ وَاحِدَةٍ عَنْ اَفْرَدِ غَيْرَهَا مِنَ الْحَقَائِقِ الْمُشْتَرِكَةِ مَعَهَا فِى جِنْسٍ وَاحِدٍ
suatu sifat atau kumpulan sifat substansial yang dapat membedakan satu individu dari individu lainnyayang hakikatnya bersekutu dalam satu jenis.
      Atribut (sifat) yang membedakan substansi dari substansi-substansi lain yang jenisnya sama, seperti term “berpikir” sebagai atribut yang membedakan manusia dari jenis hewan lain, seperti kuda, sapi, anjing, dll.
Fashal dibagi menjadi dua jenis, yaitu :
1)      Fashal qarib
هُوَ مَا يُمِزُّ الْمَاهِيَةُ عَمَّا يُشَرِكُهَا فِى جِنْسِهَا الْقَرِيْبُ
Sesuatu yang dapat membedakan hakikat dari suatu objek yang berserikat dalam jenisnya yang terdekat.
Differensia yang membedakan substansi yang jenisnya sama seperti term “mengaum” sebagai pembeda singa dengan jenis hewan lainnya yang sekerabat, yaitu hewan.
2)      Fashal Ba’id
هُوَ مَا يُمِزُّ الْبَاهِيَةُ عَمَّا يُشَرِكُهَا فِى جِنْسِهَا الْبَعِيْدُ
Sesuatu yang dapat membedakan hakikat dari suatu objek yang berserikatdalam jenisnya yang jauh.
Differensia yang membedakan substansi yang sama jenisnya, tetapi jauh, seperti term yang membedakan manusia dari jenis-jenisnya (hewan) yang lain, tetapi differensia ini bersifat jauh. Contoh dalam hal ini adalah term “merasa” sebagai differensiasi antara manusia dengan jenis-jenis hewan lain yang sifatnya jauh.
4.   Propprium (Khashah), satu atau beberapa tanda pengenal yang mendatang (tanda pengenal tambahan) yang dimiliki khusus oleh anggota golongan. Seperti  “dapat berbicara” sebagai ciri khas dari manusia.Term “bisa berbahasa” adalah kelanjutan dari bisa berpikir (differensia) yang merupakan akibat dari suatu sebab.
5.   Aksiden ('Irdli 'Aam),
هُوَ اَلْخَارِجُ الْمَقُوْلُ اِلَيْهَا وَ عَلَى غَيْرِهَا
Ungkapan kata yang menunjuk sifat yang ada pada suatu objek dan ada pula objek lainnya di luar hakikat.Atribut pelengkap (aksidental) dari substansi yang berbeda-beda, seperti term “putih” sebagai ciri khas ras manusia tertentu. Akan tetapi, atribut putih tidak terbatas pada ciri khas ras manusia saja, namun mencakup substansi-substansi lainnya seperti sapi, lembu, burung dara, dan sebagainya.Atribut berasal dari bahasa Latin, ad (kepada) dan tribuere (mempertalikan, menyerahkan kepada). Jadi, atribut merupakan apa yang dipertalikan dengan sesuatu, atau merupakan ciri khas sesuatu. Tanpa ciri khas itu, sesuatu tidak dapat ada atau tidak dapat dimengerti.
Atribut adalah sifat asasi yang dimiliki oleh setiap substansi yang menentukan hakikat substansi tersebut. Dalam bahasa, atribut diungkap sebagai kata sifat, anak kalimat, atau keterangan. Dalam metafisika, ia disebut dengan sesuatu yang hakiki, niscaya, aksidental, atau kontingen. Menurut Aristoteles, dunia terbagi ke dalam substansi-substansi individual dan atribut substansi-substansi itu. Dalam arti tertentu, atiribut adalah semua karakteristik yang dapat menerangkan substansi di bawah kategori-kategori waktu, tempat, relasi, dan seterusnya. Dalam arti logis, atribut adalah predikabilia itu sendiri.
Aksiden terbagi menjadi dua: pertama, aksiden tidak terpisahkan, yaitu atribut yang terdapat dalam semua kelas, misalnya rambut pada manusia. Pada umumnya manusia mempunyai rambut sehingga disebut dengan aksiden tidak terpisahkan; kedua, aksiden terpisahkan, yaitu rambut yang hanya terdapat pada beberapa anggota kelas, misalnya warna putih pada anjing.
C.     Penggunaan Taqsim
Cara menyelidiki sesuatu diawali dengan menelaah terlebih dahulu lingkungan jenis dari sesuatu itu baru ditentukan lingkungan golongannya. Hal ini disebabkan sulitnya menemukan sifat pemisah dari sesuatu tersebut.
Menentukan lingkungan jenis ataupun lingkungan golongan dengan jalan menentukan sifat-sifatnya yang menyatukannya dan memisahkannya, berarti melakukan asas-pembagian setiap kelompok secara tertib. Asas pembagian secara tertib ini disebut fundamental divisionis.
Contohnya, apabila seseorang ingin mengklasifikasi transportasi ke dalam beberapa bagian, seperti transportasi laut, darat, dan udara, gerobak, delman, bemo, helicopter. Hal ini ditemukan suatu kekeliruan, yakni gerobak, bemo, delman adalah transportasi darat, sedangkan helicopter adalah transportasi laut.
D.    Dikotomi
Membagi sebuah jenis kepada seluruh golongan yang berada di bawah lingkungan jenis itu disebut klasifikasi. Tetapi cara pembagian tersebut dinilai kurang efektif dan sempurna, hal ini memungkinkan ada yang belum diketahui secara lengkap. Oleh karena itu lahirlah cara pembagian yang disebut dengan dikotomi.
Setiap jenis hanya dibagi ke dalam dua golongan saja, yaitu penegasan dan peniadaan. Dalam penegasan berisikan lingkungan yang betul-betul diketahui. Di dalam peniadaan tercakup seluruh lingkungan yang lain. Dengan demikian manusia akan mengalami kemajuan dalam pengetahuannya. Kelemahan system ini adalah penggunaan system dalam segi politik dan psikologi yang sering digunakan untuk meninggikan kelompok sendiri dan merendahkan kelompok lain. Seperti, partai Nazi Jerman dalam kekuasaannya membagi manusia dalam bentuk Bangsa Aria dan Bangsa bukan Aria.

E.     Ketentuan Pembagian/ Taqsim
Ahli manthiq memberikan tiga ketentuan tentang pembagian:
1.      Harus didasarkan pada satu pengertian dasar tentang sesuatu yang akan dibagi. Jika dianggap sama, maka tidak boleh dianggap sebagai dasar pembagian, dan yang dibagi itu harus memiliki sifat yang berbeda, seperti pembagian buku: sejarah, geografi, ekonomi, dan sebagainya.
2.      Ia harus kumpulan dari yang bermacam-macam: bagiannya harus mencakup habis semua bagian-bagiannya. Contohnya, pembagian kurikulum SD dan SMP. Ini tidak benar karena tidak mengikutsertakan SMA, tetapi ini juga tidak salah sebab ada kemungkinan bahwa SMA tidak dibahas.
3.      Antar bagian-bagian ada garis tegas yang memisahkannya. Contohnya, flora dan fauna.

Referensi:
1.      Drs. H.A. Basiq Djalil, S.H., M.A. Logika Ilmu Mantiq. Jakarta : Prenada Media Grup. 2014. Cet. IV
2.      H. Syukriadi Sambas. Mantik : Kaidah Berpikir Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2012. Cet. VI
3.      M. Ali Hasan. Ilmu Mantiq Logika. Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya. 1995. Cet. II

4.      Muhammad Nur Ibrahimi. Belajar Logika diterjemahkan dari Ilm al-Manthiq oleh Achmad Bahrur Rozi, M. Hum.

Lafadz/ Term

Lafadz/ Term
Lafadz adalah suatu nama yang diberikan pada huruf-huruf yang tersusun atau susunan beberapa huruf, yang mengandung arti. Kata lafadz berasal dari bahasa Arab yang berarti kata dalam bahasa Indonesia. Dari sisi ilmu nahwu, kata dalam bahasa Indonesia seperti kebun berarti kalimat dalam bahasa Arab, dan kalimat dalam bahasa Indonesia seperti kebun itu bagus berarti jumlah dalam bahasa Arab.[1]
Lafadz merupakan pengungkapan realitas konkret dan abstrak (maujudat) yang menjadi objek mantik. Dari segi bentuk/ wujud bangunannya, kata terbagi menjadi dua yakni mufrad dan murakkab. Pengertian kedua lafadz ini berbeda pendapat antara ahli mantiq dan ahli nahwu.
Bagi ahli nahwu, semua lafadz-lafadz yang ada ini, mereka melihat pada makna, bukan pada jumlah lafadznya, maka mereka tetap dinamakan mufrad sekalipun lafadz-lafadznya tersusun dari beberapa kata, seperti Harun Nasution, Rasyid Ridha. Sedangkan, ahli nahwu lebih melihat pada lafadz atau bentuk kata, karenanya mereka menamakan murakkab sekali pun maknanya satu, seperti Muhammad Abdullah Harun.
Pengertian lafadz mufrad :
هُوَ مَا لَيْسَ لَهُ جُزْءٌ يَدُلُّ دِلاَلَةً مَقْصُوْدَةً عَلَى جُزْءِ الْمَعْنَى الْمُرَادِ مِنْهُ
Kata yang tidak mempunyai bagian yang tidak menunjukkan kepada penunjukan yang dimaksud oleh bagian makna yang tidak dikehendakinya.
Pengertian lafadz murakkab :
هُوَ مَا يَدُلُّ جُزْؤُهُ دِلاَلَةً مَقْصُوْدَةً عَلَى جُزْءِ الْمَعْنَى الْمَقْصُوْدِ
Kata yang bagiannya menunjukkan arti yang dimaksud oleh bagian yang terkandung dalam kata tersebut. [2]
1.      Lafadz Mufrad
Lafadz mufrad adalah kata yang bermakna tunggal, seperti bangku, membaca, Ibnu Sina, dan lain-lain. Ahli mantiq member definisi lafadz mufrad adalah suatu lafadz yang tidak mempunyai kandungan atau bagian yang menunjukkan suatu pengertian atas bagian makna yang dimaksudkan.[3]
Lafadz mufrad dari segi bentuknya, terdiri  dari empat macam:
a.       Lafadz mufrad yang asalnya tidak mempunyai bagian, karena hanya terdiri dari satu huruf ( ma laisa lahu juz-un ashlan bi an-yakuna ala harfin wahidin).  Contohnya : huruf ba’, kaf, lam dari huruf khafad atau huruf ma’ani yang terdiri dari satu huruf saja; juga seperti huruf qasam.
b.      Lafadz mufrad yang terdiri dari beberapa bagian (lebih dari satu huruf) tetapi bagiannya tidak mempunyai arti tertentu (ma tarakkaba min aktsarin min juz-in walakin la yadullu ala juz-uhu ala ma’nan muthlaqan). Contohnya,  huruf ta’ dalam kata maktabun. Ta’ bukan huruf ma’ani melainkan suku kata.
c.       Lafadz mufrad yang mempunyai bagian yang dapat menunjukkan suatu arti, tetapi arti itu bukan yang dimaksud oleh kata tersebut ( ma lahu juz-un yadullu ‘ala juz al-makna walakin laisa juz-un min al-ma’na al muradu lah). Contohnya, Akbar adalah sebuah nama, tetapi dalam bahasa Arab Akbar memiliki arti, seperti juga kata Allah. Akan tetapi, konteks yang dibahas di sini adalah sebuah nama.
d.      Lafadz mufrad yang mempunyai bagian yang dapat menunjukkan suatu arti, tetapi artinya bukan yang dimaksud ( ma lahu juz-un yadullu juz-an ma’nah dilalat ghair maksudat). Contohnya,  kata Hayawan al-Nathiq sebagai sebuah nama bagi seseorang. Kata hayawan dan al-natiq memang mempunyai makna, tetapi makna tersebut bukanlah yang dimaksud. Sebab, pengertian hayawan al-nathiq di sini adalah nama seseorang.[4]
Dilihat dari jenisnya, lafadz mufrad ada tiga :
a.       Lafadz mufrad disebut isim, yaitu :
مَا دَلَّ عَلَى مَعْنًى مُسْتَقِلٍ بِا الْفَهْمِ مِنْ غَيْرِ دِلاَلَةٍ عَلَى زَمَانِ ذَلِكَ الْمَعْنَى
Lafadz mufrad yang menunjukkan suatu makna yang tidak mengandung waktu, seperti bunga,  Surabaya, Ali, dan sebagainya.
b.      Lafadz mufrad disebut fi’il, yaitu
مَا دَلَّ عَلَى مَعْنًى فِى زَمَنٍ مِنَ الأَزْمِنَةِ الثَّلاَثَةِ
Kata yang menunjukkan suatu arti disertai penunjukan ketiga dimensi waktu ( waktu lampau, kini dan akan datang), seperti mengetik, berpikir, berjalan, dan sebagainya.
c.       Lafadz mufrad disebut Adat, yaitu
مَا لاَ يَدُلُّ وَحْدَهُ عَلَى مُسْتَقِلٍ بِا الْفَهْمِ
Kata yang tidak bisa menunjukkan maknanya sendiri secara mandiri, seperti kata dengan, bahwa, atas, ila, min (bagian dari huruf jar).mereka disebut juga dengan huruf. Tetapi oleh ilmuwan mantiq dikenal dengan adat.[5]
Selanjutnya, lafadz mufrad isim, dilihat dari segi artinya terbagi atas dua macam
1)    Mufrad Isim Kulli, yaitu
اَللَّفْظُ الْمُفْرَدُ الصَّالِحُ لاِءَنْ يَصْدُقَ عَلَى اَفْرَادٍ كَثِيْرَةٍ
Satu kata yang maknanya mencakup individu yang banyak. Contohnya, uang, ikan, burung, pelajar. Isim kulli ini dalam ilmu nahwu disebut isim nakirah.
2)    Mufrad Isim Juz’i, yaitu
اَلْلَّفْظُ الْمُفْرَدُ الَّذِي لاَيَصْلُحُ مَعْنَاهُ الْوَحِدُ لاِءَنَّ يَشْتَرِكَ فِيْهِ اِفْرَادٌ كَثِيْرَةٌ
Kata yang maknanya tidak dapat mencakup individu yang banyak. Contoh: Siti, Bandung, Bali, nur, dan lain-lain. Isim juz’i ini dalam ilmu nahwu disebut isim ma’rifat yang ada tujuh macam.
Lafadz mufrad isim, dilihat dari segi ada-tidak adanya dalam realitas terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
1)      Isim Mushashal, yaitu
مَادَلَّ عَلَى شَيْئٍ اَوْ صِفَةٍ وُجُوْدِيَّةٍ
Kata yang menunjukkan suatu arti atau suatu sifat yang ada. Contoh : kabupaten, gunung, kuning, hitam, dan lain-lain.
2)      Isim Ma’dul, yaitu
مَا دَلَّ عَلَى سَلَبِ الشَّيْئِ اَوِ الصِّفَةِ الْوُجُوْدِيَّةِ
Kata yang menunjukkan peniadaan sesuatu atau sifatnya. Contohnya: tidak hadir, bukan pedagang, dan lain-lain.
3)      Isim ‘Adami, yaitu
مَا دَلَّ عَلَى سَلَبِ صِفَةٍ عَنْ مَوْضُوْعٍ مِنْ شَأْنِهِ اَنْ يَّتَصِفَ بِهِمَا
Kata yang menunjukkan peniadaan suatu sifat dari suatu objek tertentu yang ada padanya. Contoh: bisu (tidak bisa bicara), tuli (tidak bisa mendengar)[6]
Imam al-Ahdhari dan al-Darwi menjelaskan bahwa lafadz mufrad kulli terdiri dari musta’mal (yang digunakan) dan ghair musta’mal (yang tidak digunakan). Menurut ulama’ mantiq mutaqaddimin, dilihat dari segi buktinya musta’mal mufrad kulli terbagi menjadi tiga bagian:
a)      Lafadz yang wujudnya tidak bisa dilihat oleh indera mata, seperti jin, srtan, dan makhluk halus lainnya.
b)      Lafadz yang wujudnya terlihat oleh indera mata kita, contohnya bulan, petir, bintang, dan lain-lain.
c)      Lafadz yang buktinya terlihat oleh indera mata, contohnya manusia, hewan dan lain-lain.
Adapun menurut ulama mantiq mutaakhirin, lafadz musta’mal kulli ini terbagi menjadi enam, yaitu:
(1)   Lafadz mufrad kulli yang tidak terlihat (abstrak) dan mustahil adanya, seperti berkumpulnya Barat dan Timur.
(2)   Lafadz mufrad kulli yang abstrak, tetapi menurut rasio boleh adanya, seperti air laut dari perak
(3)   Lafadz mufrad kulli yang hanya ada satu-satunya, tidak ada yang lain, seperti lafadz “Allah”.
(4)   Lafadz mufrad kulli yang buktinya hanya terlihat sebagian, tetapi boleh ada yang lainnya, seperti matahari.
(5)   Lafadz mufrad kulli yang buktinya ada dan ada pula tempatnya, seperti macan.
(6)   Lafadz mufrad kulli yang buktinya ada tetapi tempatnya abstrak, seperti nikmat Allah.
2.      Lafadz Murakkab
Lafadz murakkab yaitu lafadz yang tersusun dari beberapa kata. Lafadz murakkab dibagi menjadi dua macam, yakni :
(a)    Lafadz murakkab tam (lafadz murakkab yang sempurna)
مَا اَفَادَ فَائِدَةً يَحْسُنُ السُّكُوْتُ عَلَيْهَا
Suatu kalimat yang berfaedah, sehingga pendengar diam, karena mengerti maksudnya.contohnya : UIN Jakarta mencetak cendikiawan-cendikiawan muslim
(2) lafadz murakkab naqish )  lafadz murakkab tidak sempurna), yaitu
مَا لاَ يُفِيْدُ فَائِدَةً يَحْسُنُ السُّكُوْتُ عَلَيْهَا
Suatu kalimat yang maknanya tidak sempurna, sehingga pendengar tidak mengerti maksudnya. Contoh : gedung-gedung yang tinggi itu……
Lafadz murakkab tam terbagi lagi menjadi dua macam, yaitu :
(a)    Murakkab Khabari, atau kalimat berita. Dalam ilmu mantiq disebut juga keterangan. Yaitu :
كُلُّ مُرَكَّبٍ اِحْتِمَلَ الصِّدْقَ وَ الْكِذْبَ لِذَاتِهِ
Setiap kalimat yang isi maknanya mengandung kemungkinan benar dan salah. Contoh: di Kasmir terjadi pemberontakan senjata.
(b)   Murakkab Insya’i, kalimat atau  bukan kalimat berita, yaitu
مَا لاَ يُفِيْدُ فَائِدَةً يَحْسُنُ السُّكُوْتُ عَلَيْهَا
Setiap kalimat yang isinya tidak mengandung kemungkinan benar dan salah. Murakkab insya’i ini seperti kata perintah (al-kalimat al-amr), kata larangan ( al-kalimat al-nahy), kata tanya (al-kalimat al-istifham), dan kata seru ( al-kalimah al-nida’). Murakkab insya’i tidak menjadi objek mantiq.[7]


 









[1] Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., (Logika: Ilmu Mantiq), Jakarta, Prenada Media Group, 2014, cet. III, h. 13
[2] H. Syukriadi Sambas, M.Si, (Mantik), PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2012, cet. VI, h. 46
[3] Dr. H.A. Basiq Djalil, S.H., M.A., ibid, h.15
[4] H. Syukriadi Sambas, M.Si, ibid, h. 47
[5] Dr. H.A. Basiq Djalil, S.H., M.A., ibid, h. 15
[6] H. Syukriadi Sambas, M.Si, ibid, h. 49
[7] M. Ali Hasan, ( Ilmu Mantiq Logika), Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 1995, cet. II, h. 20-21