Lafadz/ Term
Lafadz adalah suatu nama yang diberikan pada
huruf-huruf yang tersusun atau susunan beberapa huruf, yang mengandung arti. Kata lafadz berasal dari bahasa Arab yang berarti kata dalam
bahasa Indonesia. Dari sisi ilmu nahwu, kata dalam bahasa Indonesia
seperti kebun berarti kalimat dalam bahasa Arab, dan kalimat dalam
bahasa Indonesia seperti kebun itu bagus berarti jumlah dalam bahasa
Arab.[1]
Lafadz merupakan pengungkapan realitas konkret dan abstrak (maujudat)
yang menjadi objek mantik. Dari segi bentuk/ wujud bangunannya, kata terbagi
menjadi dua yakni mufrad dan murakkab. Pengertian kedua lafadz ini berbeda pendapat
antara ahli mantiq dan ahli nahwu.
Bagi ahli nahwu, semua lafadz-lafadz yang ada
ini, mereka melihat pada makna, bukan pada jumlah lafadznya, maka mereka tetap
dinamakan mufrad sekalipun lafadz-lafadznya tersusun dari beberapa kata,
seperti Harun Nasution, Rasyid Ridha. Sedangkan, ahli nahwu lebih melihat pada
lafadz atau bentuk kata, karenanya mereka menamakan murakkab sekali pun
maknanya satu, seperti Muhammad Abdullah Harun.
Pengertian lafadz mufrad :
هُوَ مَا لَيْسَ لَهُ جُزْءٌ يَدُلُّ دِلاَلَةً مَقْصُوْدَةً عَلَى جُزْءِ
الْمَعْنَى الْمُرَادِ مِنْهُ
Kata yang tidak mempunyai bagian yang tidak menunjukkan kepada
penunjukan yang dimaksud oleh bagian makna yang tidak dikehendakinya.
Pengertian lafadz murakkab :
هُوَ مَا
يَدُلُّ جُزْؤُهُ دِلاَلَةً مَقْصُوْدَةً عَلَى جُزْءِ الْمَعْنَى الْمَقْصُوْدِ
Kata yang bagiannya menunjukkan arti yang dimaksud oleh bagian yang terkandung dalam kata tersebut. [2]
1. Lafadz Mufrad
Lafadz mufrad adalah kata yang bermakna tunggal, seperti
bangku, membaca, Ibnu Sina, dan lain-lain. Ahli mantiq member definisi lafadz mufrad
adalah suatu lafadz yang tidak mempunyai kandungan atau bagian yang
menunjukkan suatu pengertian atas bagian makna yang dimaksudkan.[3]
Lafadz mufrad dari segi bentuknya, terdiri dari empat macam:
a. Lafadz mufrad yang asalnya tidak mempunyai bagian, karena hanya
terdiri dari satu huruf ( ma laisa lahu juz-un ashlan bi an-yakuna ala
harfin wahidin). Contohnya :
huruf ba’, kaf, lam dari huruf khafad atau huruf ma’ani yang
terdiri dari satu huruf saja; juga seperti huruf qasam.
b. Lafadz mufrad yang terdiri dari beberapa bagian (lebih dari satu
huruf) tetapi bagiannya tidak mempunyai arti tertentu (ma tarakkaba min
aktsarin min juz-in walakin la yadullu ala juz-uhu ala ma’nan muthlaqan).
Contohnya, huruf ta’ dalam kata maktabun.
Ta’ bukan huruf ma’ani melainkan suku kata.
c. Lafadz mufrad yang mempunyai bagian yang dapat menunjukkan suatu
arti, tetapi arti itu bukan yang dimaksud oleh kata tersebut ( ma lahu
juz-un yadullu ‘ala juz al-makna walakin laisa juz-un min al-ma’na al muradu
lah). Contohnya, Akbar adalah sebuah nama, tetapi dalam bahasa Arab Akbar
memiliki arti, seperti juga kata Allah. Akan tetapi, konteks yang dibahas di
sini adalah sebuah nama.
d. Lafadz mufrad yang mempunyai bagian yang dapat menunjukkan suatu
arti, tetapi artinya bukan yang dimaksud ( ma lahu juz-un yadullu juz-an
ma’nah dilalat ghair maksudat). Contohnya,
kata Hayawan al-Nathiq sebagai sebuah nama bagi seseorang. Kata hayawan
dan al-natiq memang mempunyai makna, tetapi makna tersebut bukanlah yang
dimaksud. Sebab, pengertian hayawan al-nathiq di sini adalah nama
seseorang.[4]
Dilihat dari jenisnya, lafadz mufrad ada tiga :
a.
Lafadz
mufrad disebut isim, yaitu :
مَا دَلَّ عَلَى مَعْنًى مُسْتَقِلٍ بِا الْفَهْمِ مِنْ غَيْرِ
دِلاَلَةٍ عَلَى زَمَانِ ذَلِكَ الْمَعْنَى
Lafadz
mufrad yang menunjukkan suatu makna yang tidak mengandung waktu, seperti bunga, Surabaya,
Ali, dan sebagainya.
b.
Lafadz
mufrad disebut fi’il, yaitu
مَا دَلَّ عَلَى مَعْنًى فِى زَمَنٍ مِنَ الأَزْمِنَةِ الثَّلاَثَةِ
Kata yang menunjukkan suatu arti disertai penunjukan ketiga
dimensi waktu ( waktu lampau, kini dan akan datang), seperti mengetik, berpikir, berjalan, dan
sebagainya.
c.
Lafadz
mufrad disebut Adat, yaitu
مَا لاَ يَدُلُّ وَحْدَهُ عَلَى مُسْتَقِلٍ بِا الْفَهْمِ
Kata yang tidak bisa menunjukkan maknanya sendiri secara mandiri, seperti kata dengan, bahwa, atas, ila,
min (bagian dari huruf jar).mereka disebut juga dengan huruf. Tetapi oleh
ilmuwan mantiq dikenal dengan adat.[5]
Selanjutnya, lafadz mufrad isim, dilihat dari segi
artinya terbagi atas dua macam
1)
Mufrad
Isim Kulli, yaitu
اَللَّفْظُ الْمُفْرَدُ الصَّالِحُ لاِءَنْ يَصْدُقَ عَلَى اَفْرَادٍ
كَثِيْرَةٍ
Satu kata yang
maknanya mencakup individu yang banyak.
Contohnya, uang, ikan, burung, pelajar. Isim kulli ini dalam ilmu nahwu disebut
isim nakirah.
2)
Mufrad
Isim Juz’i, yaitu
اَلْلَّفْظُ الْمُفْرَدُ الَّذِي لاَيَصْلُحُ مَعْنَاهُ الْوَحِدُ
لاِءَنَّ يَشْتَرِكَ فِيْهِ اِفْرَادٌ كَثِيْرَةٌ
Kata yang
maknanya tidak dapat mencakup individu yang banyak. Contoh: Siti, Bandung, Bali, nur, dan lain-lain. Isim juz’i ini
dalam ilmu nahwu disebut isim ma’rifat yang ada tujuh macam.
Lafadz mufrad
isim, dilihat dari segi ada-tidak adanya dalam realitas terbagi menjadi tiga
macam, yaitu:
1)
Isim
Mushashal, yaitu
مَادَلَّ عَلَى شَيْئٍ اَوْ صِفَةٍ وُجُوْدِيَّةٍ
Kata yang menunjukkan suatu arti atau suatu sifat yang
ada. Contoh : kabupaten, gunung, kuning, hitam, dan lain-lain.
2)
Isim
Ma’dul, yaitu
مَا دَلَّ عَلَى سَلَبِ الشَّيْئِ اَوِ الصِّفَةِ الْوُجُوْدِيَّةِ
Kata yang
menunjukkan peniadaan sesuatu atau sifatnya. Contohnya:
tidak hadir, bukan pedagang, dan lain-lain.
3)
Isim
‘Adami, yaitu
مَا دَلَّ عَلَى سَلَبِ صِفَةٍ عَنْ مَوْضُوْعٍ مِنْ شَأْنِهِ اَنْ
يَّتَصِفَ بِهِمَا
Kata yang
menunjukkan peniadaan suatu sifat dari suatu objek tertentu yang ada padanya. Contoh: bisu (tidak bisa bicara), tuli (tidak bisa mendengar)[6]
Imam al-Ahdhari
dan al-Darwi menjelaskan bahwa lafadz mufrad kulli terdiri dari musta’mal
(yang digunakan) dan ghair musta’mal (yang tidak digunakan). Menurut
ulama’ mantiq mutaqaddimin, dilihat dari segi buktinya musta’mal mufrad kulli
terbagi menjadi tiga bagian:
a)
Lafadz
yang wujudnya tidak bisa dilihat oleh indera mata, seperti jin, srtan, dan
makhluk halus lainnya.
b)
Lafadz
yang wujudnya terlihat oleh indera mata kita, contohnya bulan, petir, bintang,
dan lain-lain.
c)
Lafadz
yang buktinya terlihat oleh indera mata, contohnya manusia, hewan dan
lain-lain.
Adapun menurut
ulama mantiq mutaakhirin, lafadz musta’mal kulli ini terbagi menjadi enam,
yaitu:
(1)
Lafadz
mufrad kulli yang tidak terlihat (abstrak) dan mustahil adanya, seperti
berkumpulnya Barat dan Timur.
(2)
Lafadz
mufrad kulli yang abstrak, tetapi menurut rasio boleh adanya, seperti air laut
dari perak
(3)
Lafadz
mufrad kulli yang hanya ada satu-satunya, tidak ada yang lain, seperti lafadz
“Allah”.
(4)
Lafadz
mufrad kulli yang buktinya hanya terlihat sebagian, tetapi boleh ada yang
lainnya, seperti matahari.
(5)
Lafadz
mufrad kulli yang buktinya ada dan ada pula tempatnya, seperti macan.
(6)
Lafadz
mufrad kulli yang buktinya ada tetapi tempatnya abstrak, seperti nikmat Allah.
2. Lafadz Murakkab
Lafadz murakkab yaitu lafadz yang tersusun dari beberapa
kata. Lafadz murakkab dibagi menjadi dua macam, yakni :
(a)
Lafadz
murakkab tam (lafadz murakkab yang sempurna)
مَا اَفَادَ فَائِدَةً يَحْسُنُ السُّكُوْتُ
عَلَيْهَا
Suatu kalimat yang berfaedah, sehingga pendengar diam,
karena mengerti maksudnya.contohnya : UIN Jakarta mencetak
cendikiawan-cendikiawan muslim
(2) lafadz murakkab naqish ) lafadz murakkab tidak sempurna), yaitu
مَا لاَ يُفِيْدُ فَائِدَةً يَحْسُنُ
السُّكُوْتُ عَلَيْهَا
Suatu kalimat yang maknanya tidak sempurna, sehingga
pendengar tidak mengerti maksudnya. Contoh : gedung-gedung yang tinggi itu……
Lafadz murakkab tam terbagi lagi menjadi dua macam,
yaitu :
(a) Murakkab Khabari, atau kalimat berita. Dalam ilmu mantiq disebut juga
keterangan. Yaitu :
كُلُّ مُرَكَّبٍ اِحْتِمَلَ الصِّدْقَ وَ
الْكِذْبَ لِذَاتِهِ
Setiap kalimat
yang isi maknanya mengandung kemungkinan benar dan salah. Contoh: di Kasmir terjadi pemberontakan senjata.
(b) Murakkab Insya’i, kalimat atau bukan
kalimat berita, yaitu
مَا لاَ يُفِيْدُ فَائِدَةً يَحْسُنُ
السُّكُوْتُ عَلَيْهَا
Setiap kalimat
yang isinya tidak mengandung kemungkinan benar dan salah. Murakkab insya’i ini seperti kata perintah (al-kalimat al-amr),
kata larangan ( al-kalimat al-nahy), kata tanya (al-kalimat
al-istifham), dan kata seru ( al-kalimah al-nida’). Murakkab insya’i
tidak menjadi objek mantiq.[7]
[1] Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., (Logika: Ilmu Mantiq), Jakarta,
Prenada Media Group, 2014, cet. III, h. 13
[2] H. Syukriadi Sambas, M.Si, (Mantik), PT
Remaja Rosdakarya, Bandung, 2012, cet. VI, h. 46
[3] Dr. H.A. Basiq Djalil, S.H., M.A., ibid, h.15
[4]
H. Syukriadi
Sambas, M.Si, ibid, h. 47
[5]
Dr.
H.A. Basiq Djalil, S.H., M.A., ibid, h. 15
[6]
H.
Syukriadi Sambas, M.Si, ibid, h. 49
[7] M. Ali Hasan, ( Ilmu Mantiq Logika), Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 1995, cet.
II, h. 20-21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar