Translate

Selasa, 22 September 2015

Ma'rifah dalam Tasawuf

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar  Belakang
Dalam wacana tasawwuf, ma’rifat dianggap sebagai tingkatan tertinggi dalam perjalanan tasawwuf. Biasanya ma’rifat dipandang sebagai perolehan kemuliaan para sufi dan merupakan tema sentral dalam tasawwuf yang sangat menarik perhatian kaum sufi.     
Perolehan ma’rifat merupakan kebanggaan tertinggi yang banyak didambakan para sufi. Upaya pengkhayatan ma’rifat kepada Allah (ma’rifatullah) merupakan tujuan utama dan sekaligus sebagai inti ajaran tasawwuf. Oleh karena itu, ma’rifatullah tidak dapat dicapai tanpa melalui suatu proses atau upaya tertentu. Untuk lebih memahami tentang ma’rifat, pada bagian ini pemakalah akan membahasnya lebih jauh.
Mak’rifah adalah kehidupan hati melalui Allah, dan pengabaikan bathin manusia dari semua yang bukan Allah. Nilai seorang manusia terletak pada ma’rifahnya, dan orang yang tidak memiliki ma’rifah tidak memiliki apa-apa. Mutakallimun, fuqoha, dan kelompok ahli lainnya menamakan ma’rifah untuk pengetahuan yang benar, karena adanya rasa yang benar kepada Allah, tetapi syekh sufi menyebut perasaan yang benar dengan nama Ma’rifah.
Oleh karena itu, mereka mengatakan bahwa ma’rifah lebih utama dari pada ilmu, karena perasaan yang benar akibat dari penalaran yang benar, tetapi penalaran yang benar tidak sama dengan perasaan yang benar. Maksudnya seseorang tidak mempunyai pengetahuan dengan ilahi bukanlah orang yang mempunyai ma’rifah, tetapi bisa saja seseorang mempunyai pengetahuan tentang Allah tanpa mesti harus ‘arif.
B.    Rumusan Masalah
1.      Apa definisi ma’rifat secara etimologi dan epistimologi?
2.      Bagaimana peranan ma’rifat dalam kehidupan?
3.      Siapa tokoh tasawwuf yang mengembangkan tentang ma’rifat?



BAB II
PEMBAHASAN

A.   Memahami Ma’rifah
Dari segi bahasa, ma’rifah berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, ‘irfan, dan ma’rifah yang artinya adalah pengetahuan atau pengalaman.[1] Ma’rifah juga pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi dari ilmu yang biasa yang didadapi oleh orang-orang pada umumnya. Ma’rifah adalah pengetahuan yang obyeknya bukan hal-hal yang bersifat dzahir, tetapi lebih mendalam terhadap bathinnya dengan mengetahui rahasianya.
Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawwuf, antara lain:
a.   Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawwuf yang mengatakan “Ma’rifah adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya”
b.   As-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Khadiry mengemukakan pendapat Abuth Thayyib A-Samiriy yang mengatakan “Ma’rifah adalah hadirnya kebenaran Allah (pada sufi)dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi ”
c.   Imam AL-Qusyairi mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin Abdillah yang mengatakan “Ma’rifah membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barang siapa  yang meningkat ma’rifahnya, maka meningkat pula ketenangannya (hatinya)”. [2]
Ma’rifah adalah pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasiannya. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan, dan hakikat itu satu, dan segala yang maujud berasal dari yang satu.
Dalam salah satu tingkatan tasawwuf, ma’rifah diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Pengertian itu demikian lengkap dan jelas sehingga jiwanya merasa satu dengan yang diketahuinya itu, yaitu Tuhan. Harun Nasution mengatakan bahwa Ma’rifah menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk gnosis, pengetahuan dengan hati sanubari.[3]
Selajutnya dalam Tasawwuf Dzunnun al-Misri (W. 860 M) yang dipandang sebagai bapak “makrifat”, menurut beliau ada tiga macam pengetahuan tentang Tuhan.
1.      Pengetahuan Awam          : Tuhan satu dengan perantara ucapan kalimat Syahadat.
2.      Pengetahuan Ulama          : Tuhan satu menurut jalan akal pikiran.
3.      Pengetahuan Tasawwuf    : Tuhan satu dengan penglihatan Hati sanubari.
Pengetahuan menurut pengertian pertama dan kedua,  belum merupakan pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Keduanya disebut ilmu bukan makrifat. Pengetahuan menurut pengertian yang ketigalah yang merupakan pengetahuan hakiki tentang Tuhan dan pengetahuan ini disebut “makrifat”.[4]
Makrifat hanya terdapat pada kaum sufi, yang sanggup melihat Tuhan dengan Hati sanubarinya. Pengetahuan serupa ini hanya diberikan Tuhan kepada kaum sufi yang sangat berhasrat untuk menemukan Tuhan karena sangat cinta kepadaNya. Makrifat dimasukkan Tuhan kepada hati orang sufi, sehingga hatinya penuh dengan cahaya. Ketika Zannun ditanya bagaimana ia memperoleh makrifat tentang Tuhan ia menjawab. “Aku mengenal Tuhan dengan pertolongan Tuhanku dan sekiranya tidak kakena Tuhanku aku tak akan kenal Tuhan”.
Ini menggambarkan bahwa makrifat tidak diperoleh begitu saja, tetapi adalah pemberian dari Tuhan. Karena itu maka makrifat bukan hasil pemikiran manusia, tetapi bergantung kepada kehendak dan rahmat Tuhan, dalam arti bahwa makrifat adalah pemberian Tuhan kepada Kaum Sufi yang sanggup menerimanya.
B.   Manfaat Ma’rifah
Menurut Dzu al – Nun al – Mishri, tujuan pencapaian ma’rifat oleh para sufi adalah untuk meningkatkan nilai kemanusiaan seoptimal mungkin, yakni dengan berhiaskan akhlak Allah. Dzun al – Mishri juga menghubungkan antara ma’rifat dan syari’at. Dalam hubungan tersebut menurutnya tanda seorang arif ada tiga, yaitu: 1) cahaya ma’rifatnya tidak memadamkan cahaya kerendah hatiannya, 2) tidak mengukuhi secara bathiniyah ilmu yang bertentangan dengan hukum lahiriyah dan 3) nikmat Allah yang banyak tidak menggiringnya untuk melanggar batas-batas larangan Allah. Dari tanda-tanda tersebut pada intinya mengacu pada profil seorang sufi yang memiliki akhlak tinggi, yaitu akhlak Ilahiyah.
Ma’rifat sangat berperan dalam pembentukan akhlak mulia. Seperti seseorang yang arif akan semakin khusyu’ jika dalam setiap pengenalan dan pendekatan terhadap Allah selalu meningkat. Penjelasannya yakni seseorang yang telah mengenal serta dekat terhadap Allah atau telah ber-ma’rifat maka ia akan semakin khusyu’ dalam beribadahnya. Seseorang yang setiap harinya semakinkhusyu’ dikarenakan seseorang tersebut setiap harinya pula selalu dekat dengan Allah. Dan seorang arif tidak hanya konsisten terhadap satu kondisi saja, akan tetapi ia akan konsisten dengan Tuhannya dalam setiap kondisi.[5]
Ciri orang yang ma'rifat adalah laa khaufun 'alaihim wa lahum yahzanuun. Ia tidak takut dan sedih dengan urusan duniawi. Karena itu, kualitas ma'rifat kita dapat diukur. Bila kita selalu cemas dan takut kehilangan dunia, itu tandanya kita belum ma'rifat. Sebab, orang yang ma'rifat itu susah senangnya tidak diukur dari ada tidaknya dunia. Susah dan senangnya diukur dari dekat tidaknya ia dengan Allah. Maka, kita harus mulai bertanya bagaimana agar setiap aktivitas bisa membuat kita semakin kenal, dekat dan taat kepada Allah. [6]
Salah satu ciri orang ma'rifat adalah selalu menjaga kualitas ibadahnya. Terjaganya ibadah akan mendatangkan tujuh keuntungan hidup.
1)   Hidup selalu berada di jalan yang benar (on the right track).
2)   Memiliki kekuatan menghadapi cobaan hidup. Kekuatan tersebut lahir dari terjaganya keimanan.
3)   Allah akan mengaruniakan ketenangan dalam hidup. Tenang itu mahal harganya. Ketenangan tidak bisa dibeli dan ia pun tidak bisa dicuri. Apa pun yang kita miliki, tidak akan pernah ternikmati bila kita selalu resah gelisah.     
4)   Seorang ahli ibadah akan selalu optimis. Ia optimis karena Allah akan menolong dan mengarahkan kehidupannya. Sikap optimis akan menggerakkan seseorang untuk berbuat. Optimis akan melahirkan harapan. Tidak berarti kekuatan fisik, kekayaan, gelar atau jabatan bila kita tidak memiliki harapan.     
5)   Seorang ahli ibadah memiliki kendali dalam hidupnya, bagaikan rem pakem dalam kendaraan. Setiap kali akan melakukan maksiat, Allah SWT akan memberi peringatan agar ia tidak terjerumus. Seorang ahli ibadah akan memiliki kemampuan untuk bertobat.
6)    Selalu ada dalam bimbingan dan pertolongan Allah. Bila pada poin pertama Allah sudah menunjukkan jalan yang tepat, maka pada poin ini kita akan dituntun untuk melewati jalan tersebut.        
7)    Seorang ahli ibadah akan memiliki kekuatan ruhiyah, tak heran bila kata-katanya bertenaga, penuh hikmah, berwibawa dan setiap keputusan yang diambilnya selalu tepat.[7]
C.   Menjadi Insan Kamil melalui Ma’rifat
Dalam hal ini insan kamil menurut Prof. Amin, ialah kualitas moral dari seorang manusia yang hidup dan berkembang, maksudnya manusia sempurna bukan berasal dari wujud manusia itu sendiri, melainkan kualitas dari akhlak atau moral manusia yang mencoba mencapai tahap kesempurnaan.[8] Maka dari itu manusia sebagai khalifah di bumi harus bisa menjaga apa yang dititipkan Allah di bumi kapada manusia. Dari tanggung jawab menjadi khalifah itulah manusia belajar segala hal tentang Tuhan dan segala ciptaan-Nya serta diaplikasikan dalam kehidupan, itulah yang menjadi awal proses manusia dalam membentuk insan kamil. Proses pembentukannya sendiri tidaklah mudah, karena harus melewati beberapa tahapan atau tingkatan perjalanan rohani seorang manusia. Proses tersebut diantaranya; Takhalli  (pembersihan diri), Tahalli (menghias diri), dan Tajalli (pencerahan hati) atau yang disebut dengan ma’rifat.
1.  Takhalli
Takhalli merupakan pembersihan diri dari sifat-sifat tercela dan penyakit hati yang dapat merusak diri manusia. Hal ini sesuai dengan firman Allah: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”.(QS al-Syam:9-10). Adapun macam-macam dari sifat tercela yang harus dibersihkan diantranya; Hasud, Hirshu, Takabbur, Ghadab, Riya’ dan Sum’ah, Ujub, serta Syirik.
2.   Tahalli
Tahalli merupakann sikap senantiasa membiasakan diri melakukan sifat-sifat terpuji (mahmudah). Dari bermacam-macam sifat terpuji yang perlu kita perhatikan yaitu; Tauhid, Taubat, Wara’, Zuhud, Sabar, Faqr, Syukur, Muraqabah dan Muhasabah, Ridha, Tawakkal, serta Cinta (Hubb).
3.   Tajalli
 Setelah seseorang melewati tahap takhalli dan tahalli, maka ia akan mencapai tingkat yang lebih tinggi yaitu tajalli. Tajalli berarti hilangnya hijab dari sifat kemanusiaan (basyariah) atau terangnya cahaya yang tersembunyi atau fana’. Segala sesuatu selain Allah ketika nampak wajah Allah. Dasar tajalli yaitu firman Allah dalam potongan surat al-A’raf ayat 143 “…ketika Allah tajalli pada gunung (itu), menjadikannya (gunung) hancur luluh dan Musa jatuh pingsan.”[9]
Istilah lain dari tajalli ialah ma’rifat, yakni mengetahui rahasia dan peraturan Allah dengan menyaksikan Tuhan yang Maha Esa. Seseorang yang telah mencapai tahap ini berarti bisa melaksanakan fungsi kekhalifahan dan mencapai ma’rifatullah, ma’rifatunnafs, ma’rifatunnas, dan ma’rifatulkaun.[10]
Hal yang pertama adalah ma’rifatullah, dengan mengenal Allah seseorang akan menyadari kebesaran ciptaan Allah. Sehingga manusia akan memuji kebesaran Allah dengan cara memelihara ciptaan-Nya dan berusaha tidak merusaknya.
Hal yang kedua yaitu ma’rifatunnafs, kita menyadari bahwa manusia diberi kelebihan oleh Allah dibanding makhluk lain, maka dari itu manusia harus mensyukuri dengan cara menggunakan untuk hal yang berdampak positif.
           Hal yang ketiga yaitu ma’rifatunnas, sebagai  makhluk social manusia harus saling mengenal dengan sesamanya. Hal ini dilakukan dengan menjalin hubungan baik antar sesama manusia.
           Kemudian hal yang terakhir adalah ma’rifatulkaun, yakni memelihara alam ciptaan Allah dengan kekuatan yang diberikan Allah serta tidak berusaha untuk mengotori atau justru merusaknya. Dari beberapa uraian diatas dapat dilakukan oleh seseorang untuk dapat menjadi Insan Kamil.
D.   Tokoh yang Mengembangkan Ma’rifah
Didalam leteratur tasawwwuf            hanya dijumpai dua orang tokoh masyhur yang mengenalkan paham ma’rifat ini, yakni :
1.     Ma’ruf al-Karkhi
Dimungkinkan sekali, orang yang pertama kali berbicara tentang ma’tifat adalah Ma’ruf al-Karkhi yang meninggal dunia tahun 200 H. Iaa termasuk sufi-sufi pendahulu. Dan dimungkinkan juga ia adalah orang yang telah mendifinisikan tasawuf dengan perkataannya: “tasawwuf adalah mengambil hakikat, dan tak mengharapkan apa yang ada di tangan manusia.”
Arti dari perkataan tersebut adalah bahwa tasawwuf merupakan ilmu tentang hakikat-hakikat intuitif yang tersingkap bagi seorang sufi sebagai bandingan dari ilmu tentang tata caradalam syariat. Di samping itu, tasawwuf juga berzuhud (menjauhkan diri) dari apa yang dimiliki oleh manusia. Dari sini, maka tasawwuf menurutnya adalah zuhud dan ma’rifat.
Tasawwuf menurut Ma’ruf al-Karkhi berdiri di atas syariat, dan segala tuntutan-tuntutannya yang berupa amal ibadah dan ketaatan. Oleh karena itu, tasawwuf tidak menyukai perdebatan dan permasalahan-permasalahan agama, dan lebih mengutamakan pengamalan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Salmi tentang perkataan Ma’ruf al-Karkhi: “Jika Allah menghendaki kebaikan pada diri seseorang hamba, maka ia akan membukakan kepadanya pintu amal perbuatan, dan menutup pintu perdebatan. Namun jika Allah menghendaki keburukan pada diri hamba, maka akan menutup pintu amal, dan membukakan kepadanya pintu perdebatan.”
Ma’ruf al-Karkhi juga beranggapan keharusan terjadinya pertalian antara ilmu dan amal. Ia berkata: “Jika seseorang yang berilmu mengamalkan ilmunya, maka bersuka cita hati orang-orang yang beriman, dan marahlah setiap orang yang berpenyakit hatinya.”[11]
2.    Dzunnun Al-Misri
Dzunnun Al-Misri juga mengkoreksika antara ma’rifat dan syariat,dengan mengatakan: Tanda-tanda seorang Arif ada tiga, pertama adalah cahaya ma’rifatnya tidak memadamkan cahaya wara’nya, tidak meyakini sebuah keilmuan batin yang membantah hukum-hukum dhahir, kenikmatan yang diberikan Allah kepadanya tidak mengakibatkan menerjang apa yang diharamkanNya.”
Ma’rifat (pengetahuan) baginya adalah tujuan akhlak. Itu merupakan bentuk penyerupaan manusia dengan akhlak-akhlak Allah sejauh kemampuannya. Hal tersebut sebagaimana pernyataannya: “para Arifin seperti Allah. Mereka adalah orang-orang yang berusaha meniru akhlak-akhlak Allah.”[12]
Ketika Dzannun Al-Misri ditanya bagaimana ia memperoleh ma’rifat tentang Tuhan, maka ia menjawab :
 “Aku ini merupakan perbendaharaan tersembunyi, Aku ingin untu dikenali sehingga kuciptakan makhlukku, lau aku perkenalkan diri kepada mereka, sehingga mereka mengenal dan mengerti aku”.[13]
Ungkapan diatas menunjukkan bahwa ma’rifat tidak diperoleh begitu saja, tetapi melalui pemberian Tuhan. Ma’rifat bukanlah hasil pemikiran manusia, tetapi tergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma’rifat adalah pemberian Tuhan kepada sufi yang sanggup menerimanya. Pemberian tersebut dicapai setelah sufi lebih dahulu menunjukkan kebolehannya, kepatuhannya dan ketaatan pengabdiannya pada Allah dalam bermal secara lahiriah sebagai pengabdian yang dikerjakan oleh tubuh untuk beribadah.[14]

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari segi bahasa, ma’rifah berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, ‘irfan, dan ma’rifah yang artinya adalah pengetahuan atau pengalaman. Ma’rifah juga pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi dari ilmu yang biasa yang didadapi oleh orang-orang pada umumnya. Ma’rifah adalah pengetahuan yang obyeknya bukan hal-hal yang bersifat dzahir, tetapi lebih mendalam terhadap bathinnya dengan mengetahui rahasianya.
Dalam literatur tasawuf dijumpai dua orang tokoh yang mengenalkan paham ma’rifah ini yaitu Ma’ruf al-Karkhi dan Zun al-Nun al-Misri. Ma’ruf al-Karkhi mendifinisikan tasawuf dengan perkataannya: “tasawwuf adalah mengambil hakikat, dan tak mengharapkan apa yang ada di tangan manusia.” Arti dari perkataan tersebut adalah bahwa tasawwuf merupakan ilmu tentang hakikat-hakikat intuitif yang tersingkap bagi seorang sufi sebagai bandingan dari ilmu tentang tata caradalam syariat. Di samping itu, tasawwuf juga berzuhud (menjauhkan diri) dari apa yang dimiliki oleh manusia. Dari sini, maka tasawwuf menurutnya adalah zuhud dan ma’rifat.
. Adapun ma’rifah yang dimajukan oleh Zun al-Nun al-Misri adalah pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Menurutnya ma’rifah hanya terdapat pada kaum sufi yang sanggup melihat Tuhan dengan hati sanubari mereka.
B.     Kritik dan Saran
Untuk lebih cepat memahami makalah ini penulis menyarankan untuk membaca dengan teliti dan berulang-ulang.
Penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Sehingga kritik dan saran pembaca sangat kami harapkan untuk kesempurnaan tugas selanjutnya.



DAFTAR PUSTAKA

            AM. Rosyid dan M. Sholihin, Akhlaq Tasawwuf , (Bandung: Nuansa).       
Tebba, Sudirman, Merengkuh Makrifat Menuju Ekstase Spiritual, (Tanggerang, Pustaka Irvan, 2006).       
Syukur, Amin, Insan Kamil, (Semarang : CV. Bima Sakti,, 2006).
            Mustofa, H.A., Akhlak Tasawwuf, (Bandung: Pustaka Setia, 1997).
            Nasution, Harun, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983),  cet. III.
            Zahri, Mustafa, Dr., Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1973).
            Abul Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawwuf dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Pustaka, 1997).
            Nata, Abuddin, Akhlak Tasawwuf, (Jakarta: Rajawali Press, 1996).
             Syukur, Amin, Pengantar Studi Islam, (Semarang : Pustaka Nuun,,2010).
Abul Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam, Telaah Historis dan Perkembangannya, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008) terj. Subhan Anshari Lc.
            Zahri, Mustafa, Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), cet.I.



[1] Sudirman Tebba, Merengkuh Makrifat Menuju Ekstase Spiritual, (Tanggerang, Pustaka Irvan, 2006), hlm. 148
[2] Mustofa, H.A., Akhlak Tasawwuf, (Bandung: Pustaka Setia, 1997),  hlm. 251.
[3] Harun Nasution,  Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983),  cet.III,  hlm. 75.
[4] Dr. Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1973) hlm. 171
[5] Abul Wafa al Ghanimi al Taftazani,Tasawwuf dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Pustaka, 1997), hlm.  98.
[6] Abuddin Nata, Akhlak Tasawwuf, (Jakarta: Rajawali Press, 1996), hlm. 32
[7] Ibid., hlm. 34
[8] Amin Syukur, Insan Kamil, (Semarang : CV. Bima Sakti,, 2006), hlm.  79
[9] Amin Syukur, Pengantar Studi Islam, Semarang : Pustaka Nuun,,2010), hlm.  185-186.
[10] Op., Cit., Amin Syukur, Insan Kamil,  hlm.  70-71
[11] Abul Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam, Telaah Historis dan Perkembangannya, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008) terj. Subhan Anshari Lc., hlm. 119
[12] Ibid., hlm. 120
[13] AM. Rosyid dan M.Sholihin, Akhlaq Tasawwuf , (Bandung: Nuansa), hlm. 227
[14] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), cet.I, hlm.246.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar