Translate

Minggu, 08 Februari 2015

ayat yang 'am dan khash



A.     Pembahasan

A.     Pengertian ‘Am dan Khash

Lafaz ‘am adalah lafaz yang menurut penetapannya secara kebahasaan menunjukkan terhadap kemerataannya dan penghabisannya terhadap seluruh satuan-satuannya, yang maknanya mengenainya, tanpa pembatasan pada jumlah tertentu daripada satuan tersebut.
Lafaz yang khash adalah suatu lafaz yang diletakkan untuk menunjukkan suatu individu yang satu perorangannya, seperti Muhammad, atau salah satu dalam macamnya, seperti seorang laki-laki, atau menunjuk kepada sejumlah individu yang terbatas seperti tiga, sepuluh, seratus, sekelompok orang, kaum, sekumpulan orang,  dan lain sebagainya yang terdiri dari lafaz yang menunjukkan sejumlah individu dan tidak menunjukkan terhadap penghabisan seluruh individu-individu.[1]

B.     Model Lafaz ‘am dan Khash

Hasil penelitian ( research) terhadap mufrodat atau ungkapan (gaya bahasa) dalam bahasa Arab menunjukkan lafaz-lafaz yang arti bahasanya menunjukkan kepada umum serta mencakup satuan-satuannya adalah
1.       Lafadz  كل dan جميع, seperti
خَلَقَ اللهُ مَا فِى الأَرْضِ جَمِيْعَا 
Artinya :
“ Allah menciptakan bagi kamu sesuatu yang ada di bumi seluruhnya”. (QS. Al-Baqarah: 29)
2.     Lafaz mufrad ( kata benda tunggal) yang dimakrifatkan dengan alif lam (ال تعريف جنس ) ( dalam bahasa inggris sama dengan memakai “ the”  atau definite article) untuk memakrifatkan jenis, misalnya
وَالسَّرِقُ وَالسَّارِقَةُ
Artinya :
“ Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri....”.

 وَاَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
 Artinya :
“ Padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..”.
Karena “ jenis” dapat terealisir dalam setiap satuan diantara satuan-satuannya, tidak dalam satu atau beberapa satuan diantara satuan tertentu.
3.      Bentuk jamak ( plural) yang dimakrifatkan dengan  ال تعرف جنس seperti,

 وَالْمُطَالَقَّاتُ يَتَرَبَّصْنَ...
Artinya :
“ wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri ( menunggu)...”
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ
Artinya :
“ dan wanita-wanita yang bersuami...”.
Dan bentuk jamak yang dimakrifatkan dengan idhofah
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهَاتُكُمْ
Artinya :
Diharamkan bagi kamu (mengawini) ibu-ibumu..”.
 خُذْ  مِنْ اَموَالِهِمْ صَدَقَةً
Artinya :
“ Ambillah zakat dari harta mereka...”.

4.      Isim ( kata benda) maushul ( sambungan)
 وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنَاتُ
Artinya :
“ dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik ( berbuat zina)...”( QS. An-Nur : 4)
وَالّلآئِ يَبِسْنَ مِنَالْحَيْضِ

Artinya :
“ Dan perempuan-perempuan yang tidak haidh lagi...” (QS. At-Talaq:4)
5.      Isim-isim syarat, seperti
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِيْنًا خَطَأً فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ    
Artinya :
“ Dan barangsiapa yang membunuh orang mukmin, maka (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”.(QS. An-Nisa’:92)
مَنْ ذَ الّذِى يُقْرِضُ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ
Artinya :
“ Siapa yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik ( menafkahkan hartanya di jalan Allah) maka Allah akan melipatgandakan kepadanya......”(QS. Al-Baqarah:245)
6.      Isim nakiroh pada bentuk nafi (peniadaan) artinya isim nakirah yang ditiadakan :
لاَضَرَرَ وَلاَضِرَارَ
Artinya :
“ Tidak ada bahaya dan tidak ada pengenaan bahaya”.
لاَ جُنَحَ عَلَيْكُمْ
 Artinya :
" Tiada dosa bagi kamu..” [2]
Jadi, lafaz tersebut secara bahasa, adalah benar-benar digunakan untuk menunjukkan tercakupnya seluruh satuannya. Apabila lafaz itu digunakan pada pengertian selain ini, maka ia harus berlaku majazi, yang harus ada qarinah (petunjuk) yang dapat menunjukkan kesana dan berpaling dari arti yang sebenarnya (hakiki)
Khash adalah lawan kata ‘am, karena ia tidak menghabiskan semua apa yang pantas baginya tanpa pembatasan. Takhsis adalah mengeluarkan sebagian apa yang dicakup lafaz ‘am. Dan mukhassis (yang mengkhususkan) adakalanya muttasil(bersambung), yaitu yang antara ‘am dengan mukhassis tidak dipisah oleh suatu hal, dan adakalanya munfashil(terpisah), yaitu kebalikan dari muttasil.
Mukhassis muttasil ada lima macam:
a)      Istisna (pengecualian), seperti firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 33-34

اِنَّمَا جَزَؤُ ا الَّذِيْنَ يُحَارِبُوْنَ الله وَرَسُوْلَهُ وَيَسْعَوْنَ فِى الأَرْضِ فَسَادً اَنْ يُقْتَلُوآ اَوْيُصَلَّبُوآ اَوْتُقَطَّعَ اَيْدِهِمْ وَاَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلاَفٍ اَوْيُنْفَوْا مِنَ الأرْضِ قلى  ذَلِكَ لَهُمْ فِى الأَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ. اِلاَّ اللَّذِيْنَ تَابُوا مِنْ قَبْلِ اَنْ تَقْدِرُوا عَلَيْهِمْ ج  فَاعْلَمُوا اَنَّ اللَّهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ .                 

Artinya:
“Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di dunia, dan diakhirat mereka mendapat azab yang besar (33). Kecuali orang-orang yang bertobat sebelum kamu dapat menguasai mereka; maka ketahuilah, bahwa Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang(34)”.
b)      Sifat, misalnya :
وَرَبَّا ئِكُمُ الاَّتِى فِى حُجُوْرِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ الاَّتِى دَخَلْتُمْ بِهِنَّ  ( النسأ : 23 )
Artinya:
“Anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi bila kamu belum campur dengan istrimu itu(dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya)”.
Lafaz الاَّتِى دَخَلْتُمْ بِهِنَّ   adalah sifat bagi lafaz نِسَائِكُمُ .Maksudnya, anak perempuan istri yang telah digauli itu haram dinikahi suami, dan halal bila belum menggaulinya.
c)      Syarat, misalnya
كُتِبَ عَلَيْكُمْ اِذَا حَضَرَ أَحَدُكُمْ الْمَوْتُ اِنْ تَرَكَ خَيْرَ ا الْوَصِيَّةُ لِلْوَلِدَيْنِ وَالأَقْرَبِيْنَ بِاالْمَعْرُوْفِ حَقًّ عَلَى الْمُتَّقِيْنَ.  ( البقرة :  180)
 Artinya:
“Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang diantara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orangtua dan karib kerabat dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa”.
Lafaz اِنْ تَرَكَ خَيْرَ ( jika ia meninggalkan harta) adalah syarat dalam wasiat.
d)      Ghayah (batas sesuatu), seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 196 yang berbunyi
وَلاَ تَحْلِقُوى رُؤُسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ   yang artinya, “  dan janganlah kamu mencukur kepalamu, sebelum hadyu samapai di tempat penyembelihannya”. dan ayat 222  وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهَرُوْنَ  yang artinya, “janganlah kamu dekati mereka sebelum mereka suci”.
e)      Badal ba’d min kull (sebagian yang menggantikan keseluruhan). Misalnya:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اِسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً ( على عمران: 97)  
Artinya:
“dan (diantara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu”.
 Lafaz مَنِ اِسْتَطَاعَ adalah badal dari  الناس. Maka, kewajiban haji hanya khusus bagi mereka yang mampu.
Mukhassis munfashil adalah dalil pengkhususan yang berdiri sendiri dan terpisah dari lafaz yang umum,terdapat di tempat lain, baik ayat, hadis, ijma’ ataupun qiyas. Contoh yang ditakhsis oleh Al-Qur’an adalah وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُؤءٍ ( البقرة : 228). Ayat ini adalah ‘am, mencakup setiap istri yang bercerai baik dalam keadaan hamil maupun tidak, sudah digauli maupun belum. Tetapi keumuman ini ditakhsis oleh ayat:أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ( الطلاق :4) وَأُوْلاَتُ الأَحْمَالِ  dan firman-Nya  إِذَ نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ اَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَالَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ ( الأحزب : 49).
Contoh yang ditakhsis dengan hadis ialah ayat وَحَرَّمَ الرِّبَا ( البقرة: 275)   وَاَحَلَّ  اللَّهُ الْبَيْعَ. Ayat ini ditakhsis oleh jual beli yang fasid sebagaimana disebutkan dalam sejumlah hadis. Antara lain disebutkan dalam kitab Shahih Bukhari dari Ibn Umar, ia berkata: “ Rasulullah melarang mengambil upah dari air mani kuda jantan”.
Contoh ‘am yang ditakhsis oleh ijma’ ayat kewarisan, يُوْصِكُمُ اللَّهُ فِى اَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنْثَيَيْنِ ( النسأ : 11) . berdasarkan ijma’, budak tidak mendapat warisan karena sifat budak merupakan faktor penghalang hak waris.
Sedangkan, contoh ‘am yang ditakhsis dengan qiyas adalah ayat tentang zina اَلزَّنِيَةُ وَالزَّانِى فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ( النور: 2). Budak laki-laki ditakhsis ( dikeluarkan dari ketentuan umum ayat ini) karena diqiyaskan pada budak perempuan yang pentakhsisannya ditegaskan dalam ayat فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ( النسأ: 25).[3]
Ada juga yang mengatakan bahwa mukhassis munfashil itu ada tiga macam
1)      Nash, yaitu Al-Qur’an dan hadis.
2)      Akal, baik perantaraan panca indera maupun tidak.
3)      ‘Urf (adat kebiasaan).[4]
Ada kata dalam Al-Qur’an yang memiliki kekhususan makna yang kadang-kadang bersifat mutlak, atau bersifat muqayyad ( terikat atau dibatasi oleh suatu syarat), atau juga bersifat perintah atau larangan. Lafaz yang bermakna khusus dan muqayyad  ialah seperti lafaz masfuuhan  di dalam surat Al-An’am ayat 145 yang berbunyi
...... فِى مَا أُوْحِىَ اِلَىَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ اِلاَّ اَنْ يَكُوْنَ مَيْتَةً أَوْدَمًا مَسْفُوْحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيْرٍ
Artinya:
Dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, aku tidak akan mendapati sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu berupa bangkai atau darah yang mengalir(masfuuhan) atau daging babi.
Dalam ayat tersebut kata dam (darah) terikat (muqayyad) oleh kata masfuuhan yang mutlak haram, sebagaimana ditegaskan dalam surat Al-Maidah ayat ke-3
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْحِنْزِيْرِ
Artinya:
“Diharamkan atas kalian (makan) bangkai, darah, (dam), daging babi.....”
Maka dalam hal itu kata yang mengandung kekhususan makna mutlak diterangkan dengan kata yang memiliki kekhususan muqayyad.[5]
C.     Posisi Lafaz ‘Amm dihadapan Lafaz Khash
Berdasarkan penelitian nash diperoleh ketetapan bahwa lafaz yang umum ada tiga macam, yaitu:
                           I.            Lafaz ‘amm yang dimaksudkan keumumannya secara pasti. Yaitu lafaz ‘amm yang disertai oleh qarinah yang menghilangkan kemungkinan pentakhsisannya serta qath’i dalalahnya. seperti lafaz yang terdapat dalam firman Allah
وَمَا مِنْ دَآبَّةٍ فِى الأَرْضِ اِلاَّ عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
Artinya:
“ Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi ini melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya...”(QS. Hud:6)
                        II.            Lafaz yang umum yang dikehendaki kekhususannya secara pasti yakni lafaz yang umum yang disertai oleh qarinah yang menghilangkan keumumannay dan menjelaskan bahwa yang dimaksud dari lafaz itu adalah sebagian satuan-satuannya. Seperti firman Allah SWT.
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجًّ الْبَيْتِ ( على عمران: 97)
Artinya:
“ Dan mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah”.
Manusia pada nash tersebut adalah umum, namun yang dikehendaki adalah khusus orang-orang mukallaf.
                      III.            Lafaz ‘amm (umum) yang ditakhsish, yaitu lafaz yang umum yang bersifat mutlak, dan tidak ada qarinah yang menyertainya yang meniadakan kemungkinan pentakhsishannya, maupun qarinah yang menghilangkan dalalahnya umumnya. Adapaun lafaz ‘amm yang dapat ditakhsish adalah lafaz umum yang tidak disertai qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksudkan adalah yang dikehendaki khusus bukan umum. Lafaz ini adalah zhahir dalalahnya, sehingga ada dalil yang mentakhsishkannya. Misalnya :
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا
Artinya:
“ Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya..”(QS. Al-Ahqaf:25).
Yang dimaksudkan adalah segala sesuatu yang dapat dihancurkan.
D.     Kedudukan Lafaz ‘Amm yang Tidak Ditakhsis
Sebagian dari penganut madzab Syafi’iyyah berpendapat bahwasanya lafaz umum yang tidak ditakhsiskan adalah dzahir dalam keumumannya, tidak bersifat qath’i. Jadi, dalalahnya adalah zhanni dalam menghabiskan seluruh satuan-satuannya. Apabila ia ditakhsishkan, maka ia juga berdalalah zhanni, terhadap satuan-satuan yang tersisa setelah pentakhsisan itu. Jadi lafaz yang umum adalah bersifat zhanni dalalahnya, baik sebelum ditakhsishkan maupun sesudahnya.
Sebagian dari ulama Hanafiyyah berpendapat bahwasanya lafaz yang umum yang tidak ditakhsish adalah qath’i dalam keumumannya. Apabila ia ditakhsishkan, maka ia menjadi dzahir dalam dalalahnya terhadap sesuatu yang tersisa setelah pentakhsishan, artinya ia zhanni dalalah terhadapnya.[6]
Mereka yang mengatakan bahwasanya lafaz umum yang tidak ada dalil pentakhsishannya adalah qath’i dalalahnya terhadap keumumannya, tidaklah menghendaki dengan keberadaannya sebagai qath’i dalalahnya, bahwa ia tidak mengandung kemungkinan takhsish secara mutlak. Mereka hanya menghendaki bahwa tidak dapat ditakhsish kecuali dengan dalil.
Sedangkan mereka yang mengatakan bahwa lafaz yang umum adalah zhanni dalalahnya terhadap keumumannya tidaklah menghendaki bahwa ia ditakhsish secara mutlak. Mereka juga hanya menghendaki bahwa ia ditakhsish dengan dalil.

B.     Kesimpulan

Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan
1.      Lafadz ‘amm adalah lafaz yang mempunyai arti umum tanpa terbatas, dan lafaz khash adalah lafaz yang mempunyai arti dengan batasan tertentu.
2.      Model lafaz ‘amm adalah lafaz  كل  dan  جميع, lafaz mufrad  dan jamak yang dimakrifatkan dengan ال تعريف جنس , isim maushul, isim syarat, dan isim nakiroh pada bentuk nafi.












DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Zainal Abidin.Ushul Fiqh untuk Madrasah Aliyah Negeri dan yang Sederajat.Jakarta: Bulan Bintang.1975
Al-Qaththan, Manna’ Khalil.Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an.(Terjemah Mabahits Fi Ulumul Qur’an).Penerjemah H. Ainur Rafiq El-Mazni,Lc.M.A.Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar.cet ke-10.2014
Khalaf, Abdul Wahhab.Ilmu Ushul Fiqh.Semarang: Dina Utama.cet ke-1.1994
Shalih, Subhi.Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus.cet ke-10.2008


[1] Prof. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, ( Semarang, Dina Utama, 1994), cet ke-1, halaman 278
[2] Drs. Zainal Abidin Ahmad, Ushul Fiqih untuk Madrasah Aliyah Negeri dan yang sederajat,(Jakarta, Bulan Bintang, 1975), halaman 109-111
[3] Manna’ Khalil al-Qattan, Pengantar studi Ilmu Al-Qur’an,(Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar, 2014), cet ke-10, halaman 278-280
[4] Drs. Zainal Abidin Ahmad,ibid., halaman 90-91
[5] Dr. Subhi Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an,(Jakarta, Pustaka Firdaus, 2008), cet ke-10, halaman 440
[6] Prof. Abdul Wahab Khalaf,op.cit., halaman 283-286

Tidak ada komentar:

Posting Komentar