A.
Pembahasan
A.
Pengertian ‘Am
dan Khash
Lafaz ‘am adalah lafaz yang menurut penetapannya secara kebahasaan
menunjukkan terhadap kemerataannya dan penghabisannya terhadap seluruh
satuan-satuannya, yang maknanya mengenainya, tanpa pembatasan pada jumlah
tertentu daripada satuan tersebut.
Lafaz yang khash adalah suatu lafaz yang diletakkan untuk
menunjukkan suatu individu yang satu perorangannya, seperti Muhammad, atau
salah satu dalam macamnya, seperti seorang laki-laki, atau menunjuk kepada
sejumlah individu yang terbatas seperti tiga, sepuluh, seratus, sekelompok
orang, kaum, sekumpulan orang, dan lain
sebagainya yang terdiri dari lafaz yang menunjukkan sejumlah individu dan tidak
menunjukkan terhadap penghabisan seluruh individu-individu.[1]
B.
Model Lafaz ‘am
dan Khash
Hasil penelitian ( research) terhadap mufrodat atau ungkapan (gaya
bahasa) dalam bahasa Arab menunjukkan lafaz-lafaz yang arti bahasanya
menunjukkan kepada umum serta mencakup satuan-satuannya adalah
1.
Lafadz كل dan جميع, seperti
خَلَقَ اللهُ مَا فِى الأَرْضِ جَمِيْعَا
Artinya
:
“
Allah menciptakan bagi kamu sesuatu yang ada di bumi seluruhnya”. (QS. Al-Baqarah: 29)
2.
Lafaz mufrad (
kata benda tunggal) yang dimakrifatkan dengan alif lam (ال تعريف جنس ) ( dalam bahasa inggris sama dengan
memakai “ the” atau definite article)
untuk memakrifatkan jenis, misalnya
وَالسَّرِقُ وَالسَّارِقَةُ
Artinya
:
“
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri....”.
وَاَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya :
“ Padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..”.
Karena “ jenis” dapat terealisir dalam setiap satuan diantara
satuan-satuannya, tidak dalam satu atau beberapa satuan diantara satuan tertentu.
3.
Bentuk jamak (
plural) yang dimakrifatkan dengan ال تعرف جنس seperti,
وَالْمُطَالَقَّاتُ يَتَرَبَّصْنَ...
Artinya :
“ wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri ( menunggu)...”
وَالْمُحْصَنَاتُ
مِنَ النِّسَاءِ
Artinya :
“ dan wanita-wanita yang bersuami...”.
Dan bentuk jamak yang dimakrifatkan dengan idhofah
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمْ اُمَّهَاتُكُمْ
Artinya :
Diharamkan bagi kamu (mengawini) ibu-ibumu..”.
خُذْ
مِنْ اَموَالِهِمْ صَدَقَةً
Artinya :
“ Ambillah zakat dari harta mereka...”.
4.
Isim ( kata
benda) maushul ( sambungan)
وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنَاتُ
Artinya
:
“
dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik ( berbuat zina)...”( QS. An-Nur : 4)
وَالّلآئِ يَبِسْنَ مِنَالْحَيْضِ
Artinya
:
“
Dan perempuan-perempuan yang tidak haidh lagi...”
(QS. At-Talaq:4)
5.
Isim-isim
syarat, seperti
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِيْنًا خَطَأً فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
Artinya :
“ Dan barangsiapa yang membunuh orang mukmin, maka (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”.(QS.
An-Nisa’:92)
مَنْ
ذَ الّذِى يُقْرِضُ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ
Artinya :
“ Siapa yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
( menafkahkan hartanya di jalan Allah) maka Allah akan melipatgandakan
kepadanya......”(QS. Al-Baqarah:245)
6.
Isim nakiroh
pada bentuk nafi (peniadaan) artinya isim nakirah yang ditiadakan :
لاَضَرَرَ وَلاَضِرَارَ
Artinya
:
“
Tidak ada bahaya dan tidak ada pengenaan bahaya”.
لاَ جُنَحَ عَلَيْكُمْ
Artinya :
"
Tiada dosa bagi kamu..” [2]
Jadi, lafaz tersebut secara bahasa, adalah benar-benar digunakan
untuk menunjukkan tercakupnya seluruh satuannya. Apabila lafaz itu digunakan
pada pengertian selain ini, maka ia harus berlaku majazi, yang harus ada
qarinah (petunjuk) yang dapat menunjukkan kesana dan berpaling dari arti yang
sebenarnya (hakiki)
Khash adalah lawan kata ‘am, karena ia tidak menghabiskan semua apa
yang pantas baginya tanpa pembatasan. Takhsis adalah mengeluarkan sebagian apa
yang dicakup lafaz ‘am. Dan mukhassis (yang mengkhususkan) adakalanya muttasil(bersambung),
yaitu yang antara ‘am dengan mukhassis tidak dipisah oleh suatu hal, dan
adakalanya munfashil(terpisah), yaitu kebalikan dari muttasil.
Mukhassis muttasil ada lima macam:
a)
Istisna
(pengecualian), seperti firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 33-34
اِنَّمَا جَزَؤُ ا الَّذِيْنَ يُحَارِبُوْنَ الله وَرَسُوْلَهُ
وَيَسْعَوْنَ فِى الأَرْضِ فَسَادً اَنْ يُقْتَلُوآ اَوْيُصَلَّبُوآ اَوْتُقَطَّعَ
اَيْدِهِمْ وَاَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلاَفٍ اَوْيُنْفَوْا مِنَ الأرْضِ قلى ذَلِكَ لَهُمْ فِى الأَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ.
اِلاَّ اللَّذِيْنَ تَابُوا مِنْ قَبْلِ اَنْ تَقْدِرُوا عَلَيْهِمْ ج فَاعْلَمُوا اَنَّ اللَّهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ .
Artinya:
“Hukuman
bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di
bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka
secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu
kehinaan bagi mereka di dunia, dan diakhirat mereka mendapat azab yang besar
(33). Kecuali orang-orang yang bertobat sebelum kamu dapat menguasai mereka;
maka ketahuilah, bahwa Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang(34)”.
b)
Sifat, misalnya
:
وَرَبَّا ئِكُمُ الاَّتِى فِى حُجُوْرِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ الاَّتِى
دَخَلْتُمْ بِهِنَّ ( النسأ : 23 )
Artinya:
“Anak-anak
perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang
telah kamu campuri, tetapi bila kamu belum campur dengan istrimu itu(dan sudah
kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya)”.
Lafaz
الاَّتِى دَخَلْتُمْ بِهِنَّ adalah sifat
bagi lafaz نِسَائِكُمُ .Maksudnya,
anak perempuan istri yang telah digauli itu haram dinikahi suami, dan halal
bila belum menggaulinya.
c)
Syarat,
misalnya
كُتِبَ عَلَيْكُمْ اِذَا حَضَرَ أَحَدُكُمْ الْمَوْتُ اِنْ تَرَكَ
خَيْرَ ا الْوَصِيَّةُ لِلْوَلِدَيْنِ وَالأَقْرَبِيْنَ بِاالْمَعْرُوْفِ حَقًّ
عَلَى الْمُتَّقِيْنَ. ( البقرة : 180)
Artinya:
“Diwajibkan
atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang diantara kamu, jika dia
meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orangtua dan karib kerabat dengan
cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa”.
Lafaz اِنْ تَرَكَ
خَيْرَ ( jika ia
meninggalkan harta) adalah syarat dalam wasiat.
d)
Ghayah (batas sesuatu), seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 196 yang
berbunyi
وَلاَ
تَحْلِقُوى رُؤُسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ yang artinya, “ dan janganlah kamu mencukur kepalamu, sebelum
hadyu samapai di tempat penyembelihannya”. dan ayat 222 وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى
يَطْهَرُوْنَ yang
artinya, “janganlah kamu dekati mereka sebelum mereka suci”.
e)
Badal ba’d min
kull (sebagian yang menggantikan keseluruhan). Misalnya:
وَلِلَّهِ
عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اِسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً ( على عمران:
97)
Artinya:
“dan
(diantara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke
Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu”.
Lafaz مَنِ
اِسْتَطَاعَ adalah badal dari الناس. Maka, kewajiban haji hanya khusus bagi mereka yang mampu.
Mukhassis munfashil adalah dalil pengkhususan yang berdiri sendiri
dan terpisah dari lafaz yang umum,terdapat di tempat lain, baik ayat, hadis,
ijma’ ataupun qiyas. Contoh yang ditakhsis oleh Al-Qur’an adalah وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُؤءٍ (
البقرة : 228). Ayat ini adalah ‘am,
mencakup setiap istri yang bercerai baik dalam keadaan hamil maupun tidak,
sudah digauli maupun belum. Tetapi keumuman ini ditakhsis oleh ayat:أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ( الطلاق :4) وَأُوْلاَتُ الأَحْمَالِ dan
firman-Nya إِذَ نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ
ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ اَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَالَكُمْ عَلَيْهِنَّ
مِنْ عِدَّةٍ ( الأحزب : 49).
Contoh yang ditakhsis dengan hadis ialah ayat
وَحَرَّمَ الرِّبَا ( البقرة: 275) وَاَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ. Ayat ini ditakhsis oleh
jual beli yang fasid sebagaimana disebutkan dalam sejumlah hadis. Antara lain
disebutkan dalam kitab Shahih Bukhari dari Ibn Umar, ia berkata: “ Rasulullah
melarang mengambil upah dari air mani kuda jantan”.
Contoh ‘am yang ditakhsis oleh ijma’ ayat kewarisan, يُوْصِكُمُ اللَّهُ فِى
اَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنْثَيَيْنِ ( النسأ : 11) . berdasarkan ijma’,
budak tidak mendapat warisan karena sifat budak merupakan faktor penghalang hak
waris.
Sedangkan, contoh ‘am yang ditakhsis dengan qiyas adalah ayat
tentang zina اَلزَّنِيَةُ
وَالزَّانِى فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ( النور: 2). Budak laki-laki ditakhsis ( dikeluarkan dari ketentuan umum
ayat ini) karena diqiyaskan pada budak perempuan yang pentakhsisannya ditegaskan
dalam ayat فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ( النسأ: 25).[3]
Ada juga yang mengatakan bahwa mukhassis munfashil itu ada tiga
macam
1)
Nash, yaitu
Al-Qur’an dan hadis.
2)
Akal, baik
perantaraan panca indera maupun tidak.
3)
‘Urf (adat
kebiasaan).[4]
Ada kata dalam Al-Qur’an yang memiliki kekhususan makna yang
kadang-kadang bersifat mutlak, atau bersifat muqayyad ( terikat atau
dibatasi oleh suatu syarat), atau juga bersifat perintah atau larangan. Lafaz
yang bermakna khusus dan muqayyad ialah seperti lafaz masfuuhan di dalam surat Al-An’am ayat 145 yang berbunyi
...... فِى مَا أُوْحِىَ اِلَىَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ
اِلاَّ اَنْ يَكُوْنَ مَيْتَةً أَوْدَمًا مَسْفُوْحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيْرٍ
Artinya:
“Dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, aku tidak akan mendapati
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu berupa bangkai atau darah yang mengalir(masfuuhan) atau daging
babi.
Dalam ayat tersebut kata dam (darah) terikat (muqayyad)
oleh kata masfuuhan yang mutlak haram, sebagaimana ditegaskan dalam
surat Al-Maidah ayat ke-3
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمْ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْحِنْزِيْرِ
Artinya:
“Diharamkan atas kalian (makan) bangkai, darah, (dam), daging
babi.....”
Maka dalam hal itu kata yang mengandung kekhususan makna mutlak
diterangkan dengan kata yang memiliki kekhususan muqayyad.[5]
C.
Posisi Lafaz
‘Amm dihadapan Lafaz Khash
Berdasarkan penelitian nash diperoleh ketetapan bahwa lafaz yang
umum ada tiga macam, yaitu:
I.
Lafaz ‘amm yang
dimaksudkan keumumannya secara pasti. Yaitu lafaz ‘amm yang disertai oleh
qarinah yang menghilangkan kemungkinan pentakhsisannya serta qath’i dalalahnya.
seperti lafaz yang terdapat dalam firman Allah
وَمَا مِنْ دَآبَّةٍ فِى الأَرْضِ اِلاَّ عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
Artinya:
“
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi ini melainkan Allah-lah yang
memberi rezekinya...”(QS. Hud:6)
II.
Lafaz yang umum
yang dikehendaki kekhususannya secara pasti yakni lafaz yang umum yang disertai
oleh qarinah yang menghilangkan keumumannay dan menjelaskan bahwa yang dimaksud
dari lafaz itu adalah sebagian satuan-satuannya. Seperti firman Allah SWT.
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجًّ الْبَيْتِ ( على عمران: 97)
Artinya:
“
Dan mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah”.
Manusia
pada nash tersebut adalah umum, namun yang dikehendaki adalah khusus
orang-orang mukallaf.
III.
Lafaz ‘amm
(umum) yang ditakhsish, yaitu lafaz yang umum yang bersifat mutlak, dan tidak
ada qarinah yang menyertainya yang meniadakan kemungkinan pentakhsishannya,
maupun qarinah yang menghilangkan dalalahnya umumnya. Adapaun lafaz ‘amm yang
dapat ditakhsish adalah lafaz umum yang tidak disertai qarinah yang menunjukkan
bahwa yang dimaksudkan adalah yang dikehendaki khusus bukan umum. Lafaz ini
adalah zhahir dalalahnya, sehingga ada dalil yang mentakhsishkannya. Misalnya :
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا
Artinya:
“
Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya..”(QS. Al-Ahqaf:25).
Yang
dimaksudkan adalah segala sesuatu yang dapat dihancurkan.
D.
Kedudukan Lafaz
‘Amm yang Tidak Ditakhsis
Sebagian dari penganut madzab Syafi’iyyah berpendapat bahwasanya
lafaz umum yang tidak ditakhsiskan adalah dzahir dalam keumumannya, tidak
bersifat qath’i. Jadi, dalalahnya adalah zhanni dalam menghabiskan seluruh
satuan-satuannya. Apabila ia ditakhsishkan, maka ia juga berdalalah zhanni,
terhadap satuan-satuan yang tersisa setelah pentakhsisan itu. Jadi lafaz yang
umum adalah bersifat zhanni dalalahnya, baik sebelum ditakhsishkan maupun
sesudahnya.
Sebagian dari ulama Hanafiyyah berpendapat bahwasanya lafaz yang
umum yang tidak ditakhsish adalah qath’i dalam keumumannya. Apabila ia
ditakhsishkan, maka ia menjadi dzahir dalam dalalahnya terhadap sesuatu yang
tersisa setelah pentakhsishan, artinya ia zhanni dalalah terhadapnya.[6]
Mereka yang mengatakan bahwasanya lafaz umum yang tidak ada dalil pentakhsishannya
adalah qath’i dalalahnya terhadap keumumannya, tidaklah menghendaki dengan
keberadaannya sebagai qath’i dalalahnya, bahwa ia tidak mengandung kemungkinan
takhsish secara mutlak. Mereka hanya menghendaki bahwa tidak dapat ditakhsish
kecuali dengan dalil.
Sedangkan mereka yang mengatakan bahwa lafaz yang umum adalah
zhanni dalalahnya terhadap keumumannya tidaklah menghendaki bahwa ia ditakhsish
secara mutlak. Mereka juga hanya menghendaki bahwa ia ditakhsish dengan dalil.
B.
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan
1.
Lafadz ‘amm
adalah lafaz yang mempunyai arti umum tanpa terbatas, dan lafaz khash adalah
lafaz yang mempunyai arti dengan batasan tertentu.
2.
Model lafaz
‘amm adalah lafaz كل dan جميع, lafaz mufrad dan jamak yang dimakrifatkan dengan ال تعريف جنس , isim maushul, isim syarat,
dan isim nakiroh pada bentuk nafi.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Zainal Abidin.Ushul Fiqh untuk Madrasah Aliyah Negeri dan
yang Sederajat.Jakarta: Bulan Bintang.1975
Al-Qaththan, Manna’ Khalil.Pengantar Studi Ilmu
Al-Qur’an.(Terjemah Mabahits Fi Ulumul Qur’an).Penerjemah H. Ainur
Rafiq El-Mazni,Lc.M.A.Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar.cet ke-10.2014
Khalaf, Abdul Wahhab.Ilmu Ushul Fiqh.Semarang: Dina
Utama.cet ke-1.1994
Shalih, Subhi.Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka
Firdaus.cet ke-10.2008
[2] Drs. Zainal Abidin Ahmad, Ushul Fiqih untuk Madrasah Aliyah Negeri
dan yang sederajat,(Jakarta, Bulan Bintang, 1975), halaman 109-111
[3] Manna’ Khalil al-Qattan, Pengantar studi Ilmu Al-Qur’an,(Jakarta
Timur, Pustaka Al-Kautsar, 2014), cet ke-10, halaman 278-280
[5] Dr. Subhi Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an,(Jakarta, Pustaka
Firdaus, 2008), cet ke-10, halaman 440
Tidak ada komentar:
Posting Komentar